Friday 20 July 2012

Tulisan berikut ini merupakan tulisan yang saya ikut sertakan dalam buku "Filsafat Martil" yang diterbitkan oleh Garasi 10. Buku tersebut merupakan antologi yang memuat refleksi delapan penulis terhadap gagasan-gagasan Friedrich Nietzsche, mulai dari nihilisme, kehendak untuk berkuasa, hingga konsep tentang Ubermensch. Untuk sementara ini, bila Anda berminat, Anda bisa mendapatkannya dengan menghubungi Garasi10 di sini.





…ketika matahari sudah mati…
                        
“Ayo”
“Apa?”
“Mulailah”
“Hah?”
“Seperti biasa”
“Apa?”
“Mendongeng, apa kamu sudah lupa kebiasaanmu?”
“Sejak kapan itu jadi kebiasaanku?”
“Dulu kamu sering mendongeng, kan?”
“Oh”
“Kenapa?”
“Apa ada yang belum kamu dengar? Rasanya aku tak punya lagi yang lain”
“Entah, yang dulu juga nggak apa-apa”
“Tapi aku tak suka mengulang”
“Masa? Bukannya saat kamu menceritakannya kamu sedang mengulang? Dongeng-dongeng itu sudah ada sebelum kamu ceritakan, kan?”
“Iya, sih. Tapi ini beda”
“Sama saja”
“Kenapa, sih?Tumben kamu antusias kayak gini”
“Nggak kenapa kenapa, ayo, mulai cerita”
“Cerita apa?”
“Terserah kamu? Katamu jadi orang itu harus kreatif. Ayo, coba”
“Hmm”
“…”
“Kamu sudah dengar dongeng si Kancil?”
“Yang mana? Kan ada banyak versinya?”
“Si Kancil dan Siput”
“Ah, kuno.”
Tapi yang ini beda”
“Itu cerita yang si Kancil balap lari sama siput, kan? Yang terus siputnya menang, beres. Gitu, kan?”
“Oh, berarti kamu baru dengar sepotong.”
”Oh, ya? Ya sudah, mulai dari awal lagi dong”
Banyak orang lupa buat cerita kapan sebenarnya ada cerita ini. Kamu harus tahu kalau cerita ini muncul saat belum ada pembedaan antara manusia dan binatang”
“Hah?”
“Iya. Dulu mereka setara, lho. Bahkan kadang saling membantu tanpa ada perasaan mengeksploitasi atau dieksploitasi. Manusia masih memahami binatang, dan binatang pun memahami manusia.”
Apa hubungannya sama manusia? Di dongeng itu kan nggak ada manusia.”
Nanti ada, dan hubungan setara itu dimungkinkan, soalnya mereka masih saling bicara lewat satu bahasa. Yaa, kalau kata Coelho namanya bahasa dunia.”
“Hahahaha, bukan kayak gitu kali bahasa dunia kata Coelho.”
“Hus, banyak protes. Coelho itu yang memelintir arti yang benar.”
“Hahahahaha, konyol”
“Oh, ya, kamu juga harus tahu dunia ini memang konyol. Dongeng si Kancil dan Siput ini pun nanti kelihatan konyolnya. Tunggu.
Itu latar belakang yang harus kamu tahu dulu. Selebihnya, banyak orang sudah cukup akurat menceritakan kembali kejadian si Kancil dan Siput, tapi…”
“Aku mau dengar lagi…dari awal”
“…tapi kebanyakan sudah ditambah banyak bumbu”
“Hmm, bumbu apa? Kalau nggak ada bumbu jadi kurang seru dong”
Kata siapa? Malah gara-gara bumbu itu rasanya jadi berubah. Ibarat kamu mau makan nasi uduk, tapi ada orang yang sembunyi-sembunyi sudah menambahkan cokelat yang benar-benar manis, rasanya jadi kayak apa coba?”
“Enak dong. Cokelat kan enak”
“Iya enak andai kamu dari awal nggak punya ekspektasi apa-apa soal nasi uduk itu. Kalau dari awal sudah terbayang gurihnya nasi uduk, yakin deh, kamu bakal muntah-muntah”
“Iya, sih. Hahaha. Terus hubungannya sama cerita ini apa?”
“Aku cuma mau bilang, bumbu-bumbu tadi menghilangkan rasa aslinya. Tanpa bumbu pun cerita ini masih bisa diceritakan kok. Lagi pula, kamu pasti ingin tahu yang asli, kan?”
“Iya juga sih”
“Kamu kan sudah tahu cerita Kancil dan Siput, yang pakai bumbu. Coba, nanti aku kasih tahu di mana ada bumbu-bumbu yang seolah-olah sedap. Seolah-olah, lho.”
“Kok jadi aku yang disuruh cerita. Kan mestinya kamu”
“Kamu dulu, nanti gantian, hehe”
“Ah. Jadi gini, kan. Suatu hari si Kancil bertemu dengan siput di pinggir kali. Dia lihat siput merangkak lambat. Lambat sekali sampai-sampai dia bosan sendiri memperhatikan si siput.
‘Hey siput, lambat sekali kamu bergerak,kamu tak mungkin menang jika lomba lari melawanku,’ kata kancil dengan angkuhnya.
‘Siapa bilang?’ jawab siput, ‘Aku berani adu cepat denganmu dan aku tak akan kalah.’
‘Hah? Mana mungkin’
‘Tinggal atur waktunya, nanti aku buktikan!’
‘Oke, bagaimana dengan minggu depan?’
‘Siap, aku tunggu di sini ya. Kita akan lomba mengitari hutan ini,’ jawab siput.
‘Baiklah,’ kata kancil sambil berlalu.
Si siput tahu, dengan cara yang biasa dia tak mungkin menang melawan si kancil. Untuk itu, ia kemudian mengumpulkan teman-teman siputnya untuk membahas suatu strategi.
Berita tentang perlombaan antara siput dan kancil dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru hutan. Mereka semua tertarik untuk menyaksikannya. Sehingga ketika hari yang ditentukan itu tiba, seluruh penghuni hutan datang.
Lalu? Hmmm..”
“Mereka kemudian berlomba”
“Iya, mereka kemudian berlomba kemudian siput yang menang. Selesai.”
“Hah? Ayolah, lebih detail”
“Ini kan harusnya kamu yang cerita.”
“Ayolah, tanggung. Sedikit lagi kan selesai.”
“Versiku seperti itu, mereka berlomba, kancil kalah, siput menang, tamat, titik.”
“Hahaha, bagaimana caranya si siput menang? Kan itu nggak mungkin.”
“Bisa, dong. Siput kan pintar, dia balap nggak pakai kaki tapi pakai otak”
“Caranya?”
“Kamu juga tahu. Kan dulu kamu yang cerita.”
“Kan sekarang biar giliran kamu yang cerita”
“Ya gitu. Waktu lomba sudah dimulai si kancil langsung lari cepat. Saking cepatnya, dalam beberapa detik, si siput di belakangnya sudah tidak kelihatan. Dia pun kemudian berjalan dengan santai. Tapi kemudian…
‘Oi, kancil!’ teriak si siput, ‘jangan santai, aku sudah menyusulmu lho!’
Si Kancil kaget karena tiba-tiba dia melihat si siput sudah ada di depan dia. Si kancil yang tidak tahu kalau itu adalah siput yang lain, buru-buru lari melewati siput.
Di depan, si kancil menoleh ke belakang, tapi di sana tidak ada siput.
‘Oi siput! ‘ teriak kancil
‘Aku di sini,’ jawab siput yang rupanya ada di depan kancil.
Kancil kembali berlari menyusul siput tanpa tahu kalau siput yang ia susul adalah siput yang berbeda. Berkali-kali ia menoleh ke belakang, dan didapatinya si siput ada di depan. Hingga akhirnya ia melihat siput sudah sampai di garis akhir, lebih dulu dari dirinya.
‘Hahaha, kamu lihat itu kancil. Kamu kalah,’ kata siput.
Seluruh penghuni hutan kemudian menyoraki kemenangan siput.
Selesai.”
“Ada yang aneh bukan dengan cerita itu?”
“Apa?”
“Pesan apa yang kamu tangkap dari cerita itu?”
“Bukankah anak kecil pun tahu, keangkuhan hanya membawamu pada kejatuhan, otak lebih dibutuhkan ketimbang tenaga, semacam itu, bukan?”
“Itukah yang kamu tangkap?”
“Iya, ada yang lain?”
“Bahwa sebenarnya sejak awal si kancil tak pernah angkuh.”
“Hah? Bukankah dia yang pertama kali membuat masalah dengan mengejek si siput yang lambat?”
“Benar, tapi bukankah si siput memang lambat?”
“Iya, tapi apakah hal itu bisa dijadikan alasan untuk mengejek?”
“Dalam beberapa hal tentu bisa. Sangat bisa. Kelemahan seseorang sering kita jadikan bahan ejekan bukan?”
“Tapi itu bukan hal yang baik. Kamu pasti setuju dengan itu.”
“Iya. Tapi itu hanya ada saat kamu membuat kategori-kategori. Saat kamu membuat tingkatan-tingkatan dan mulai memilah-milah di mana kamu berada. Ejekan hanya hadir saat kategori-kategori yang ada di otakmu kamu sampaikan kepada orang lain. Si kancil membuat kategori, cepat dan lambat,  memberitakannya pada siput. Malang bagi siput, dia menyetujui kategori buatan si kancil dan kemudian merasa lebih rendah.”
“Hmm, dan saat itulah si siput merasa diejek.”
“Persis.”
“Hmm..menarik, lalu?”
“Kamu tak pernah bertanya siapa yang pertama kali menceritakan kisah ini. Kamu tahu, kisah ini diceritakan oleh siput! Dialah yang menang! Dialah yang bisa dengan leluasa bercerita. Dengan bangga dia bisa mengagung-agungkan dirinya di hadapan seluruh penghuni hutan. Dialah yang membuat cerita penuh bumbu ini. Dan bumbu itu tak lain adalah interpretasinya sendiri.”
“Dari bagian mana dia menambahkan bumbu?”
“Sejak semula, sejak dia bercerita bahwa dia bertemu dengan kancil.
Siputlah yang mengatakan bahwa kancil berbicara dengan angkuh. Padahal, kancil hanya memberitahukan fakta. Sejak semula, apa yang dikatakan kancil adalah kebenaran. Itu adalah fakta bahwa siput berjalan lambat. Lalu kenapa, kenapa dengan fakta yang seperti itu kemudian si siput berusaha membuktikan sebaliknya?
Seperti kubilang tadi, si siput yang malang termakan pikirannya sendiri bahwa ada tingkatan dan dia merasa direndahkan. Dia berpikir bahwa cara untuk keluar dari perasaan rendah tersebut adalah melompat ke kategori yang lebih tinggi. Sayangnya ia masih terjebak dalam pengategorian yang dibuat kancil.  Namun, itu yang membuat cerita ini kemudian menarik.
Sungguh mustahil bagi siput untuk melompat ke kategori yang lebih tinggi. Jangankan untuk melebihi kecepatan kancil, untuk berada dalam kategori yang sama dengan kancil pun sudah sangat mustahil. Hanya ada satu cara yang terpikirkan olehnya: Mereka yang lemah kembali pada kawanannya.”
“Kupikir selanjutnya, cara yang dipakai siput itu cara yang cerdik, soal bagaimana seseorang bisa mengatasi kelemahannya.”
Yang kamu dengar, bukanlah sejarah tentang hal-hal yang baik.
Dongeng itu adalah sejarah kelicikan. Kamu bilang itu cerdik? Iya, andai kamu berteman akrab dengan siput. kamu berada di pihaknya. Namun, apabila kamu berada di belakang si kancil, itu semua tak lebih dari urusan tipu daya. Apa bedanya siput dengan maling yang mengecoh penjaga rumah di saat malam, atau copet yang sembunyi-sembunyi menelusuri pasar. Apakah kamu senang dengan keberadaan mereka?”
“Berarti dongen ini semua palsu?”
“Tidak juga, ini semua asli. Asli buatan siput.”
“Hah? Tapi dongeng ini tidak menceritakan keseluruhan ceritanya bukan? Ini berarti palsu.”
“Memang demikian, cerita tak pernah dapat menangkap semuanya bukan?
Anggaplah ini sejarah, kamu tentu tahu ungkapan bahwa sejarah ditulis oleh yang menang.”
“Lalu bagaimana dengan kancil? Padahal dia bisa saja bercerita.”
“Dia tak mau bersusah payah memberi alasan kekalahannya.
Lagipula dia tak tahu bagaimana ia bisa kalah. Yang ia tahu, ternyata ada makhluk yang lebih cepat dari dirinya. Lihatlah dalam cerita itu, dia telah berlari sedemikian cepatnya. Dia sudah berusaha dengan gigih.
Karena siput tak tahu isi hati si kancil. Ia hanya bisa melihat punggung si kancil pergi dari arena lomba. Dari sini, kupikir ada cerita lain yang mesti kamu tahu, mungkin lain waktu.”
“Masih belum terlalu malam, rasanya aku siap mendengarkan kelanjutannya.”
“Hmm, baiklah..
Sejak awal, kancil memang suka berlari. Dalam lomba itu, dia menikmati setiap detiknya. Setiap kali keringatnya bercucuran, ia semakin puas. ‘Inilah hidup, hidup adalah soal berlari, cepat dan semakin cepat,’ begitu pikir kancil.
“Setelah kalah, apa yang ada di pikirannya?”
“Jangan salah, kekalahan itu, yang tak ia tahu sebab aslinya, menjadi cambuk baginya. Dia menjadi lebih sering menyendiri di dalam hutan untuk terus berlari. Ia berlatih untuk menjadi yang tercepat.”
“Jadi dia tak pernah tahu kenapa dia bisa kalah dalam lomba lawan siput?”
“Awalnya dia tidak tahu bahkan tidak terlalu merisaukannya. Yang ia tahu hanyalah bahkan siput yang terlihat lambat di matanya bisa lebih cepat dari dirinya. Karena itu ia terus berlatih hingga akhirnya dirinya yakin sudah berada dalam titik maksimumnya. Saat itulah dia mulai keluar dari hutan dan membaur dengan binatang lain.
‘Aku sudah lebih cepat,” kata kancil pada kura-kura.
‘Dari dulu pun kamu sudah sangat cepat,” sahut kura-kura yang kemudian menyembunyikan kepalanya di dalam tempurungnya.
Ketika kelinci lewat di depan kancil, kancil menyapa, ‘Hey! Aku sudah lebih cepat.’
‘Kancil, seluruh hutan pun sudah tahu itu dari dulu,’ kata kelinci.
‘Iya, tapi kali ini aku lebih cepat dari dulu, saat aku kalah oleh siput’
‘Oh, lomba itu. Tidak, kamu masih yang tercepat’
‘Hah? Apa maksudmu? Jelas-jelas aku kalah dari siput waktu itu,’ tanya kancil keheranan.
‘Hah? Iya kamu kalah, tapi kamu masih yang tercepat. Ini cerita yang sudah sering diulang. Apa kamu belum mendengarnya?’
Kelinci kemudian menceritakan kembali cerita lomba balap lari si kancil versus si siput, tepat seperti yang kamu ceritakan tadi.”
“Oh, aku yakin si kancil sangat marah mendengarnya”
“Kalau kamu jadi kancil, mungkin itu, marah. Tapi kancil tidak marah. Ia malah bingung.
‘Apa sebenarnya yang dipikirkan binatang-binatang ini?’  keluh kancil dalam hati.
Kenapa penipu yang malah menjadi pahlawan dalam cerita. Ia tak habis pikir kenapa semua binatang kemudian senang mengulang cerita itu. Ia tak mengerti mengapa tak ada satu pun yang mengejarnya masuk ke hutan untuk tahu cerita itu dari sudut pandangnya tentang bagaimana dia sudah berlari sangat cepat, bagaimana dia sudah berjuang sangat keras, namun akhirnya kalah.
Dalam pikirannya,
sebelum tahu dengan cara apa ia kalah, cerita itu haruslah mengisahkan perjuangan tak kenal lelah. Bahwa perjuanganlah yang berarti, bukan hasil. Bahwa disitulah ada keindahan yang ia temukan lewat nafasnya yang tersengal-sengal, lewat urat kakinya yang menebal, dan begitu derasnya keringat yang tumpah. Cerita itu haruslah soal indahnya perjuangan.”
“Hmm, mungkin dia pun berpikir, andai siput bercerita, itu soal perjuangan seekor siput yang juga gigih, begitu?”
“Iya,
tapi setelah tahu bagaimana cara yang dipakai siput untuk menang, ia kemudian berpikir,
‘Jadi sebenarnya ini semua hanya soal menang dan kalah. Mungkin memang benar. Otak itu lebih penting. Saat ini aku tak bisa mengerti semuanya, oh, jangan-jangan karena aku memang jarang memakai otakku. Selama ini aku terlalu sering memakai otot dan melupakan otakku. Jangan-jangan hidup yang sebenarnya memang seperti itu, soal menang sekaligus mengalahkan yang lain. Yang penting aku menang. Hmm, rasanya cukup masuk otak’”
“Yaaaaah, kok si kancil jadi terpengaruh..”
“Di sini ceritanya jadi menarik.
Sepanjang jalan si kancil memikirkan hal itu sampai-sampai perutnya merasa lapar. Ia kemudian menemukan ladang kangkung. Tanpa banyak pikir, ia melahap banyak kangkung di sana. Namun, si petani ladang yang melihat tanaman kangkungnya banyak berkurang, langsung menangkap kancil yang masih kekenyangan dan tak bisa berlari. Kancil kemudian dikurung.
‘Dasar binatang brengsek, malam ini giliran kamu yang aku makan!’ ancam si petani”
“Bukankah katamu manusia dan binatang hidup tanpa pembedaan dan tanpa eksploitasi? Harusnya, si petani membiarkan kancil makan dong.”
“Awalnya seperti itu, tapi saat itu,
setelah si kancil banyak mengurung diri di hutan untuk berlatih, keadaan sudah banyak berubah. Sebenarnya perubahan ini wajar saja. Seperti si siput yang ingin melompat ke kategori yang lebih tinggi, demikian juga dengan manusia.
Akal, satu-satunya hal yang berguna buat manusia telah menjadi semacam cakar dan taring milik harimau. Sebagai alat pertahanan hidup, akal banyak membantu manusia untuk lompat ke kategori yang lebih tinggi.
Di zaman itu, akal manusia menciptakan hak milik yang berfungsi untuk menjelaskan kategori-kategori yang bertingkat-tingkat. Yang rendah, tak punya hak milik. Yang paling tinggi, hak miliknya paling luas. Tentu, yang paling atas punya kuasa lebih luas. Dan hak milik ini dianggap bersifat pribadi sehingga harus dijaga dari yang lain. Dalam dongeng ini, kancil yang tak tahu ada perubahan ini menjadi korban”
“Hahahah, dongengmu jadi makin liar.”
“Tapi itu yang bikin cerita ini jadi makin seru, kan?”
“Entah ya kalau seru, tapi aku penasaran. Terus, terus?”
“Bisa dibilang, si kancil jadi semakin bingung.
Dulu, dia bisa leluasa makan apa saja. Tapi kini, gara-gara makan, dia malah mau dimakan. Dia tak bisa lari dari kurungan. Kurungan itu dikunci dari luar dengan slot yang sungguh sederhana. Tapi si kancil tak bisa meraihnya. Hingga akhirnya seekor kambing lewat.
‘Hai, kancil kamu tertangkap si petani ya? Hahaha, betapa bodohnya dirimu terkurung di situ,’
‘Hah? Siapa bilang aku tertangkap?’  
‘Bodoh kamu, untuk apa lagi kamu ada di dalam kurungan itu.’
‘Kamu salah paham, kawan. Ini tempat khusus buat tamu si petani.’
‘Hah? Mana mungkin?,’ si kambing heran dengan jawaban si kancil.
‘Iya, aku ini tamu khusus si petani. Lihat saja ladang itu. Sudah banyak kangkung yang dicabut kan? Itu tandanya si petani bakal masak banyak hari ini. Itu semua buat tamu khususnya, yaitu aku’
‘Oh, ya? Kalau dia masak banyak, kenapa dia tak undang aku?’ tanya kambing.
‘Dia bukan cuma masak banyak, tapi khusus, dan itu khusus untuk tamu khususnya, yaitu aku.’
‘Aku jadi iri.’
‘Kalau kamu mau, kamu boleh ikut. Tapi sayangnya tempat ini cuma cukup buat seekor binatang. Kurungan ini tak muat untuk berdua, sayang sekali, mungkin lain kali kamu akan diundang.’
‘Tapi rasanya jarang-jarang kangkungnya sehijau sekarang. Aku iri padamu, kancil,’ keluh si kambing.
‘Hmm, aku jadi kasihan kepadamu. Oh, baiklah. Bagaimana kalau kita bertukar tempat. Lagi pula aku tak begitu doyan masakan dari kangkung,’ kata kancil seolah tak peduli.
‘Benarkah? Benarkah itu, kancil? Oh, kamu baik sekali,’ si kambing setengah berteriak girang.
‘Sssssst, jangan berteriak, nanti banyak binatang lain yang dengar’
‘Ups, maaf,’ si kambing mulai berbicara pelan lagi.
Dia pun kemudian membuka kurungan dan bertukar tempat dengan kancil. Si kancil keluar dengan gembira. Si kambing pun gembira. Ia tidur dengan senyuman, bahkan saat lehernya dipenggal, ia masih tertidur dengan senyuman’”
“…”
Kenapa?”
“Ngeri.”
“Hahaha.”
“Padahal kamu bisa saja bikin ending yang lebih enak.”
“Memang seperti itu juga kan cerita yang diulang-ulang.”
“Tidak, kali ini lebih tragis. Aku jadi berpikir apa bedanya cerdik dan licik.”
“Apa bedanya?”
“Entahlah, kalau dari ceritamu, cerdik dan licik tak pernah ada bedanya. Yang membuatnya beda adalah siapa yang mengatakannya.”
“Iya, aku setuju denganmu, dan dari situ kita pun bisa bertanya untuk apa dia mengatakannya seperti itu.?”
“…”
“…”
 “Aku belum mengantuk. Ayo, yang lain”
“Habis”
“Belum”
“Sudah habis”
“Belum, dongeng tentang dirimu”
“Halah, belum selesai”
“Sedikit saja”
“Nanti saja kalau sudah selesai”
“Kapan?”
“Entah, yang jelas saat itu tidak mungkin aku yang menceritakannya.”





…ketika matahari mati, lilin kecil mulai terlihat terang.

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.