Thursday 13 October 2011

Ada perasaan aneh ketika mendengar the grand optimist. Saya tak merasa terhibur dengan tiap baris lirik lagunya. Ketika saya memejamkan mata, dalam bayangan saya seolah muncul aura gelap yang menyelimuti pikiran ini. Tidak, saya juga tidak merasa takut mendengar lagu ini. Ketika sebuah lagu memberikan perasaan datar, namun membuat saya memasukkannya dalam setiap playlist yang saya buat di foobar2000. Perasaan aneh yang baru kali ini terasa saat sebuah lagu seperti sedang menyanyikan kehidupan saya apa adanya, terlepas dari keinginan, harapan, cita-cita, ketakutan, frustasi, depresi, pendek kata: terlepas dari sisi emosional diri saya.

Dallas Green bukan orang yang baru saja saya kenal. Saya sudah tahu dia sejak lama, sejak dia berteriak-teriak, lari ke sana ke mari sambil menenteng gitar, dan ber-headbang ria bersama teman-temannya di Alexisonfire – band post-hardcore yang menyatakan diri bubar Agustus 2011 lalu.
City and Colour. Dinamai sesuai nama Dallas (city) dan Green (colour). Sebuah side project yang dibuat Green di mana ia merasa lebih jujur apa adanya ketimbang di Alexisonfire yang menurut dia semakin lama semakin membunuh dirinya.
Kembali soal the grand optimist. Saya sempat membaca sebuah artikel berisi wawancara dengan Dallas Green. Di situ, Anda bisa tahu bagaimana the grand optimist menurut Green. But, the author is dead, innit? Selalu menarik mencari tahu dari mana inspirasi ataupun maksud lagu tersebut dibuat. Tapi, bukan itu yang kemudian membuat saya berkali-kali mengulang lagu ini. Ada suatu perasaan personal yang lekat dalam lagu ini.
Perasaan itu membawa saya teringat ketika ayah saya dirawat di rumah sakit. Diagnosis dokter tak pernah sama. Namun, setelah pengecekan paling lengkap yang pernah dia jalani, muncul diagnosis bahwa dia terkena kanker hati disertai komplikasi pada jantung dan lambung.
Mulanya ia tak tahu. Hari itu, dokter datang ke kamar ayah saya dirawat. Ia meminta ibu saya keluar ruangan. Saya pun ikut. Ketika hendak keluar. Ayah saya terbangun dari tidurnya. Agaknya ia melihat gelagat yang kurang enak karena ia berkata, “Silakan ngomong apa adanya. Sama saya nggak perlu ada yang ditutupi.”
 Dia minta dokter cerita langsung, dia bilang bisa terima semuanya. Dokter pun kemudian mulai menjelaskan. Saya shock. Ibu saya shock. Ayah saya…”Yaudah kalo nggak ada obatnya. Saya pulang. Mending meninggal di rumah sendiri daripada di sini. Saya nggak nyaman sama selang-selang ini.”
Dokter pun menjelaskan ada beberapa kertas yang perlu ditandatangani. Ayah saya hanya mengangguk. Ia pun menandatangani kertas-kertas itu ketika disodorkan kepadanya. Setelah itu, saya tak melihat ada raut wajah gugup atau takut. Ia malah tersenyum. Member kami nasihat, “Nggak apa-apa. Semua udah diatur.”
Begitu optimisnya dia memandang hidup, memandang kematian. Tapi, tak ada salahnya pula menjadi orang pesimis. Ibu saya contohnya. Entahlah, saya sering berpikiran gara-gara ia pesimis, ia selalu memikirkan banyak cara dalam hidupnya. Ada plan A hingga Z.
Ia orang pertama yang mengajak saya membawa hasil scan dan banyak kertas lainnya ke dokter lain. Meminta pendapat kedua. Hasilnya tidak begitu memuaskan. Meski dibilang itu bukan kanker. Dokter itu bilang ada sejenis amuba di hatinya. Perawatannya lama dan kemungkinan sembuh kecil.
Tapi ibu saya tidak berhenti. Ia kemudian cari pengobatan herbal alternatif. Agak sulit bagi saya untuk percaya bahwa penyembuhan itu berhasil karena saya kadang masih mendengar ayah saya mengaduh kesakitan. Tapi, kadang ia terlihat bugar seperti masih muda.
 Itu cuma satu cerita yang menggambarkan betapa dekatnya saya dengan beberapa baris lagu the grand optimist. Di baris lainnya, bisa dibilang semuanya adalah saya.



I fear I’ll die from complications, Complications due to things that I’ve left undone That all my debts will be left unpaid Feel like a cripple without a cane I’m like a jack of all trades, who’s a master of none   Then there’s my father, Hes always looking on the bright side Saying things like, son life just ain’t that hard He is the grand optimist I am the world’s poor pessimist You give him burden sometimes, And he will escape unscarred   I guess I take after my mother   I used to be quite resilient Gain no strength from counting the beads on a rosary Now the wound has begun to turn Another lesson that has gone unlearned But this is not a cry for pity or for sympathy   I guess I take after my mother

2 komentar:

baghendra said...

optimis ketemu pesimis, terjadilah saling melengkapi, uhuy...
cal, di jakarta ada RS Dharmais (http://www.dharmais.co.id/), setahu gw itu RS rujukan untuk penyakit kanker di Indonesia...

afnurghani said...

dia udah ga mau keluar masuk rumah sakit. alhamdulillah, kayaknya pengobatan herbal mulai menunjukkan manfaatnya

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.