Friday 7 October 2011

Dulu, saya pikir menjadi musisi pastilah menyenangkan. Anda tinggal bikin musik, konser sana sini, sisanya… menikmati hidup. Tapi kalau memikirkan konsekuensi dari kehidupan seperti itu, wah, ada juga sisi minusnya buat saya. Kemudian saya pernah membayangkan enaknya bekerja di kapal pesiar. Plesir ke sana ke sini, keliling dunia, tapi saya selalu takut dengan ombak dan lautan yang luas. Kalau takut, bagaimana bisa dinikmati? Begitulah, memilih pekerjaan yang cocok memang agak merepotkan. Hingga suatu sore saya berpikir profesi dokter gigi nampaknya cocok buat saya. Itulah saat saya mulai melantur di sini…

Dari dulu saya tidak suka suara bor yang menggema di rongga mulut saya. Lidah saya pasti saya jauhkan ketika mata bor perlahan menggaruk lapisan gigi saya. Tapi hari itu lidah saya seperti punya kehidupan sendiri. Meski ujung lidah saya tekan kuat-kuat ke gigi terluar di sebelah kiri, lidah bagian dalam saya malah bergerak mendekati bor yang sedang berputar kencang. Dua kali, bor itu menggores lidah saya.
Siti Utami Dewi alias Mimi kaget karena proses penambalan gigi tidak berjalan lancar. Yah, pada akhirnya semua beres dengan lidah saya sebagai korban. Cuma goresan sedikit. Cuma luka sedikit semacam sariawan. Saya pun menolak diberi obat kumur karena memang tidak terlalu sakit. Namun, keesokan paginya, haha, sulit bagi saya untuk menikmati secangkir kopi hitam.
Saya adalah pasiennya yang terakhir di hari itu. Rumah Sakit Gigi dan Mulut, tempat Mimi magang (ko-ass) sudah sepi ketika kami keluar ruangan.
Mimi sudah sarjana. Buktinya, di situs jejaring sosial miliknya terpampang banyak foto dirinya dan teman-temannya mengenakan toga. Tapi ijazah dari kampus belum cukup untuk jadi dokter gigi. Dia harus menghadiri serangkaian seminar dan mengeksekusi sejumlah pasien dengan kasus tertentu. Setelah buat laporan dan bla-bla-bla[1], baru dia bisa bikin papan nama bertuliskan “Dokter Gigi”.
 “Repot juga ya. Oh, apa jangan-jangan tukang gigi[2] yang ada di pinggir jalan itu sarjana kedokteran gigi yang nggak mau repot, nggak lanjut magang? Kok, lu nggak kayak gitu aja?”
“Sialan. Itu mah mereka belajar otodidak,” kata Mimi.
Menjadi dokter gigi ataupun tukang gigi pasti butuh proses. Demikian pula ketika mereka harus mengurus pasien. Ada proses dalam pekerjaan mereka. Lalu, mengapa tiba-tiba saya berpikiran menjadi dokter gigi cocok dengan saya? Well, saya kira saya akan menikmati proses kerja profesi tersebut.
Saya punya hobi merangkai model kit. Mirip dengan dokter gigi, kita harus berurusan dengan parts yang amat kecil, sehingga pinset menjadi alat yang wajib digunakan. Harus teliti dan telaten. Meski waktunya lama, saya menikmati prosesnya. Ada sesuatu yang menggairahkan ketika plastik-plastik itu terangkai satu persatu.
Sama menggairahkannya ketika saya membuat patung berbahan clay. Diawali dengan perumusan konsep. Otak saya seolah sebuah kelas berisi bocah-bocah Sekolah Dasar yang ribut ke sana ke mari tanpa ada guru yang melarang. Berisik. Banyak ide bermunculan. Membayangkannya saja sudah menyenangkan. Apalagi setelah masuk tahapan membentuk clay kemudian berusaha memanggangnya tepat waktu.
Proses. Mungkin itu juga yang saya nikmati sehingga meski sudah berkali-kali saya gagal memanggang kue soes, saya masih mau memandangi kue soes yang mengembang perlahan di dalam oven. Menikmati harumnya. Juga memperhatikan buih yang meletup-letup di atas lapisan kulit soes. Sambil berharap hasilnya sempurna. Mungkin, adanya harapan dalam setiap proses itu menambah gairah saat mengerjakan setiap tahapan.
Yah, sudah terlanjur jauh apabila hendak berputar balik untuk mengejar profesi sebagai dokter gigi. Apalagi hanya karena ada kemiripan antara pekerjaan tersebut dengan hobi saya. Namun, poin yang saya dapatkan dari serentetan lamunan di atas adalah, apapun pekerjaan saya nanti, pertama-tama saya harus menikmatinya. Klise.
Banyak hal yang kita nikmati karena prosesnya. Proses merangkai model kit, proses memanggang soes, adalah dua contohnya. Yang lain..hhm, cinta, haha. Barang absurd. Kadang hanya sekadar kata benda, kadang menjelma menjadi kata kerja. Tapi, semuanya bisa dinikmati. Begini jadinya, kalau hobi kena cipratan cinta :’)


[1]Setelah mendapat gelar sarjana kedokteran gigi, butuh dua tahun untuk menjalani masa magang dan mendapat gelar dokter gigi. Selanjutnya, ada beberapa jalur spesialisasi yang bisa diambil. Itu pun diperlukan untuk mendapat lisensi melakukan praktek tertentu, seperti pemasangan behel (CMIIW). Untuk lebih jelas, klik http://wapedia.mobi/id/Kedokteran_gigi
[2]Katanya, ahli gigi mendapat ilmu secara turun menurun. Menurut kaum dokter gigi, ada banyak hal yang berbahaya dari praktek tukang gigi. Silakan baca Pilih Dokter Gigi atau Tukang Gigi 

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.