Wednesday 21 March 2012


Memperbincangkan cinta selalu menarik. Term ini selalu lekat dengan kehidupan manusia.  Dengarkan begitu banyaknya lagu-lagu yang mengangkat tema cinta. Ceramah-ceramah keagamaan yang menegaskan keutamaan cinta. Hingga drama-drama yang mempertontonkan beragam versi cinta. Cinta memang memiliki versinya masing-masing. Saya pikir, cinta sangat menarik untuk dikaji sebagai wacana melalui kerangka strukturalis. Akan tetapi, itu bukan tujuan saya di sini. Saya hanya membiarkan ego saya bicara seadanya agar ia tak mengganggu tidur saya.


Malam ini membawa saya bertemu cinta. Perdebatan yang saya lalui membantu saya memahami cinta. Ia mengajak saya mendengarkan Kierkegaard.

Soren Abeey Kierkegaard. Punggungnya yang berpunuk, kehidupan keluarga yang buruk, dan kematian saudara-saudaranya yang datang secara bergiliran adalah bagian dari penderitaan yang ia terima dari absurditas dunia ini.

Cermin masa lalu yang ia miliki selalu menjadi modal baginya untuk menentukan pilihan dalam hidupnya. Ayahnya adalah seorang pendeta berwatak keras. Ibunya adalah seorang pembantu yang baru dinikahi ayahnya setelah hamil. Pernikahan tersebut, bagi Kierkegaard, sangat tak masuk akal. Bagaimana seorang pendeta yang ia anggap suci bisa-bisanya melakukan hal itu.

Hal itu beserta tindakan-tindakan buruk yang pernah ia jalani adalah cermin yang muncul ketika ia memutuskan untuk lari dari pertunangannya dengan Regina Olsen. Sebuah putusan yang berani sekaligus takut. Berani  karena ia tahu akan menanggung malu karena telah melecehkan sebuah keluarga yang terpandang dalam lingkungannya. Sekaligus takut, karena pengalaman masa lalunya selalu menghantuinya ketika ia senantiasa bertanya pada dirinya, “Apakah pantas orang dengan dosa-dosa seperti saya menjalin relasi dengan seseorang yang masih suci?”
Bertahun-tahun setelah kejadian itu, ia menulis,
“…seandainya saya bukan seorang yang sedang bertobat, seandainya hidup saya sebelumnya sungguh berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi, seandainya tidak ada sifat melankoli ini, hidup bersatu dengannya tentu akan membuat hidup saya lebih bahagia daripada apa yang pernah saya impikan…Terjadi protes Ilahi, begitu saya memahaminya. Pernikahan itu. Saya harus menyembunyikan begitu banyak hal darinya, harus mendasarkan semuanya pada sesuatu yang tidak benar.”
Bagaimana pandangan Kierkegaard soal cinta? Every tree is known by its own fruit. So also is love known by its own fruitSebagai buah atau hasil, cinta dapat dikenali dari cara atau ketahanan yang menyertai proses pemeliharaannya. Di situ akan ada penderitaan yang mana harus dialami. Bahkan, bahkan, cinta yang otentik harus dialami dengan penuh rasa sakit. Kegigihan dalam proses itu adalah upaya untuk merasakan keindahan dari cinta. “…for the abiding of love is in itself far more noble.”

Di manakah letak penderitaan itu?  Di titik ini saya menengok Sartre. Ia berujar bahwa cinta pada dasarnya terdiri dari konflik. Subjek yang mencinta menjadikan orang yang dicinta sebagai objek. Pun demikian sebaliknya, pihak yang dicintai dengan sadar menjadikan orang lain sebagai objek pemenuh hasrat cintanya. Seringkali secara naif seseorang menggariskan apa-apa yang harus orang lain lakukan atas dasar pemahamannya yang subjektif soal cinta, soal bagaimana ia ingin orang yang ia cintai berada dalam posisi aman. Akan tetapi, orang yang dicintai itu punya kebebasan. Perasaan terkekang yang kemudian muncul adalah hal yang menyakitkan bagi individu yang bebas. Dari hal-hal itu yang muncul sebatas konflik.

Namun, bukan itu. Bukan itu yang kita inginkan dari relasi antar manusia, bukan? Sartre pun merevisi pandangannya tersebut. Ia berujar bahwa cinta yang otentik adalah cinta seorang untuk mengakui cita-cita dan tujuan hidup orang lain, menghormati pandangan hidupnya tanpa berupaya untuk memilikinya dan melindunginya dengan kebebasan. Tidak ada cinta tanpa pengakuan yang mendalam dan pemahaman yang timbal-balik akan kebebasan.

Tapi tunggu dulu, saya tidak serta merta menyetujui gaya hidup Sartre yang merupakan konsekuensi dari pemikirannya itu. Gaya hidup berganti-ganti pasangan karena adanya kebebasan yang mutlak. Sebutlah saya naif karena masih menyanjung cinta ala pangeran dan putri seperti yang dipertontonkan (beberapa) film-film Disney. Tentu dengan sedikit mencomot pemahaman Kierkegaard juga beberapa poin dari Sartre. Dari mereka saya belajar bagaimana penderitaan adalah titik di mana saya melakukan penghayatan untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Dari cinta yang seperti itu, saya merasakan keindahan, mendapatkan kepuasan. Persetan dengan dunia. Toh, ini hidup saya. Sebelum ketiadaan menghampiri saya. Karena pada akhirnya, ketika berhadapan dengan dunia yang tereduksi dalam pilihan-pilihan. Meminjam kalimat Kierkegaard, “ Yes, I perceive perfectly that there are two possibilitties, one can do either this or that”.

Tanpa malam ini, mungkin butuh waktu lebih lama untuk menyadari itu semua. 

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.