Thursday 13 October 2011

Kecelakaan pesawat diakibatkan oleh kegagalan komunikasi di dalam kokpit. Begitu Dina menyimpulkan satu bab yang ditulis Malcolm Gladwell dalam Outliers. Kecelakaan pesawat biasanya diawali masalah seperti cuaca buruk atau salah satu mesin yang mati. Satu masalah ditambah masalah lain, kemudian muncul kesalahan lainnya, kesalahan lain, satu lagi kesalahan, hingga berujung pada terjadinya kecelakaan.
Pendek kata, banyak rangkaian kesalahan yang sudah terlalu kompleks untuk diselesaikan. Tidak ada satu kesalahan besar yang berdiri sendiri dan kemudian mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Padahal hal tersebut bisa dihindari apabila pilot dan co-pilot bisa bekerja sama dengan baik dalam arti berkomunikasi dengan baik sehingga mampu mengambil keputusan paling tepat.

Entahlah kenapa saya memulai tulisan ini dengan bertutur soal kecelakaan pesawat. Saya hanya suka ide bahwa tidak ada satu kesalahan besar yang berdiri sendiri. Selalu ada serentetan kesalahan kecil yang saling terkait satu sama lain sehingga muncul sebuah kecelakaan.  Merasa bahwa hidup kita sebetulnya tidak benar-benar kita yang mengaturnya. Ada hal-hal yang kita pilih yang kemudian memiliki konsekuensi tertentu. Namun, hey, dari mana pilihan itu muncul?
Ya, satu sore di dalam ‘kokpit’. Hmm, saya memerhatikan kaca mobil dan membayangkan bagaimana sistem aerodinamis bekerja. Saya perhatikan kaca samping yang bentuknya pun tidak kaku. Dari situ, muncul ide paling tolol abad ini. “Kejepit kaca sakit kali ya?”
“Ya coba saja,” kata ayah saya dingin.
Tentu saja saya tak mau coba. Sudah terbayang bagaimana sakitnya. Jari tangan kanan saya hanya menyentuh ujung kaca yang terbuka sedikit. Saya berniat menurunkan kaca. Tapi, entah kenapa tangan kiri saya malah mengangkat tuas yang secara otomatis membuat kaca menjepit jari tangan kanan saya.
Spontan, ayah saya tertawa terbahak-bahak. Laju mobil yang kencang berubah pelan karena fokusnya buyar, menertawakan saya. Saya meringis, sambil tertawa. Memang sakit. Parah. Ahahaha.
“Yaaa, seenggaknya jadi tahu. Bahaya juga nih buat anak-anak,” kata saya.
“Asal nggak coba-coba sama listrik juga.”
“Nggak mungkinlah mau coba-coba. Resikonya gede.”
“Kamu sih udah cukup tua buat tahu itu, anak-anak kan susah dikasih tahu biasanya,” katanya sambil kembali menaikkan kecepatan mobil.
Dari situ, mulailah ia banyak bicara soal bagaimana anak muda biasanya tak pernah memerhatikan nasihat orang tua. Padahal, kadang orang tua hanya ingin bicara ini itu sebagai bahan referensi bagi anak muda semata. Tak ada maksud untuk mengatur. Hanya sekadar member catatan kaki dalam hidup anak muda. Catatan kaki yang bisa ia perhatikan sejenak atau diacuhkan begitu saja sambil terus menikmati halaman selanjutnya.
Dan sebaliknya orang tua kadang tak mau tahu cara pandang anak muda. Sehingga dalam titik tertentu, nasihat itu berubah menjadi semacam alat pemaksaan kehendak. Padahal, ya itu tadi, sekadar referensi.
Dari referensi itu semestinya ada sesuatu yang bisa dianalisis sehingga memunculkan sesuatu yang baru. Ide baru yang brilian sehingga anak muda tak perlu selamanya mencoba kemudian gagal walaupun memang pengalaman adalah guru yang berharga. Sesuatu yang kita perlukan untuk menentukan langkah selanjutnya.
Dalam beberapa segi, saya pikir hidup ini seperti permainan catur, yang paling penting adalah langkah selanjutnya.

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.