Monday 22 October 2012

Saya baru saja dinyatakan lulus sidang skripsi. Akhirnya, petualangan saya di bangku kuliah telah selesai. Ada banyak perenungan yang muncul terutama berkaitan dengan pertanyaan: setelah ini apa lagi? Renungan mengenai langkah selanjutnya cukup menimbulkan kegelisahan. Tapi terlepas dari semua itu, ada juga renungan yang lucu nan menyenangkan saat saya berusaha merefleksikan serangkaian pengalaman yang saya lalui di dunia perguruan tinggi ini. Seperti kata Horace Walpole, dunia adalah tragedi bagi yang berperasaan dan komedi bagi yang berpikir. Ya, komedi: bangku kuliah itu mirip pabrik.

Sebuah pabrik menyediakan serangkaian proses untuk menghasilkan produk. Saya membayangkan setidaknya ada tiga tahapan utama yang disediakan pabrik untuk menghasilkan suatu produk. Pertama, tahap seleksi.
Mari berandai-andai. Apabila pabrik yang saya ambil sebagai contoh adalah pabrik pakaian, maka pada mulanya pabrik tersebut mesti menyeleksi bahan yang berkualitas untuk diolah menjadi sebuah pakaian. Kualitas suatu bahan tentu saja ditentukan oleh pabrik yang bersangkutan. Dalam hal ini, satu pabrik bisa memiliki standar kualitas tertentu yang berbeda dengan pabrik lainnya. Kriteria itu harus dimiliki untuk memudahkan proses seleksi.
Kenapa harus diseleksi? Apakah bahan yang berkualitas dipilih untuk menghasilkan produk akhir yang berkualitas? Dalam beberapa segi, hal tersebut merupakan cara pikir yang paling mudah dipahami. Pengandaian bahwa bahan yang berkualitas akan menghasilkan produk yang berkualitas saya kira tidak seratus persen tepat karena menurut saya ada variabel pengolahan yang menyertai bahan tersebut sebelum ia menjadi produk. Oleh karena itu, saya pikir yang penting di sini adalah proses pengolahan bahan itu sendiri. Dua orang koki dapat diberi bahan-bahan berkualitas yang sama. Namun, masakan yang menjadi produk akan berbeda tergantung pada cara kedua koki itu mengolah bahan-bahan tadi.
Lantas, kalau proses pengolahan itu yang penting, kenapa masih ada seleksi? Menurut saya, proses seleksi ini bertujuan untuk mempermudah proses selanjutnya, yakni agar proses pengolahan berjalan secara efisien dan ekonomis. Bahan-bahan dengan kualitas tertentu lebih mudah diolah untuk mencapai target tertentu ketimbang bahan-bahan yang lain. Bahan-bahan tertentu lebih menguntungkan daripada bahan-bahan lainnya.
Pada perguruan tunggi, seleksi seperti itu dilakukan melalui perangkat berupa soal-soal yang diikutsertakan pada seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ada batas-batas nilai tertentu yang harus dilewati sementara kursi yang tersedia pun terbatas. Kursi itu pada pabrik adalah gudang atau ruang yang mampu menampung semua bahan baku yang diperlukan. Daya tampung itu terbatas sehingga yang ditampung pada akhirnya adalah bahan-bahan yang lebih unggul dibanding bahan-bahan lainnya. Mereka yang kalah bersaing cukup diabaikan. Toh, kebutuhan pabrik sudah tercapai jadi untuk apa memikirkan bahan-bahan yang tidak tertampung. Biarkan saja, siapa tahu ada pabrik lain yang membutuhkan.
Dari situ, pabrik memulai proses pengolahan. Ada sistem yang berjalan dalam proses ini. Sistem itu dibuat agar produk yang dihasilkan sesuai dengan target tertentu. Dalam pabrik pakaian, ada pola-pola yang digambarkan di atas bahan, ada cara-cara menjahit tertentu, dan seterusnya. Nah, pada mahasiswa sistem itu mewujud pada kurikulum kuliah yang mewadahi transfer pengetahuan di dalam kelas beserta proses penilaian yang dilakukan.
Tapi rupanya proses seleksi bahan di awal, tidak serta merta menimbulkan keseragaman pengolahan. Ternyata, masih ada perbedaan kualitas di antara bahan sehingga setiap bahan perlu perlakuan yang berbeda. Teman saya ada yang cukup dimasak selama 4 tahun. Saya sendiri perlu dimasak selama 6 tahun. Hahaha.
Proses terakhir yang sangat penting adalah proses quality control. Setiap produk kemudian dilihat apakah telah sesuai dengan target atau belum. Proses ini menghasilkan label-label tertentu yang melekat pada produk. Pada beberapa factory outlet yang pernah saya sambangi misalnya, kita akan menemukan label yang menunjukkan nilai sebuah pakaian. Beberapa bahkan memperlihatkan kekurangan dari produk itu, apakah ada jahitan yang terlepas, kancing yang kurang, dan sebagainya.
Nah, pada sarjana saya rasa situasinya mirip. Label itu merupakan ijazah yang mengandung IPK serta nilai-nilai dari setiap mata kuliah. Akhirnya, produk yang telah dibubuhi label tertentu siap dipasarkan di dunia kerja. Di hadapan rasionalitas demikian, manusia hanya objek yang dinilai dengan kriteria tertentu. Padahal sebagai subjek, mestinya manusia bisa menentukan kriteria penilaiannya sendiri. Setelah selesai diproduksi di pabrik itu, manusia menjadi bahan kembali bagi pabrik berikutnya: dunia kerja. Sebelum bisa menjadi subjek pelaku kerja, lagi-lagi pada mulanya manusia adalah objek yang diseleksi dengan label tertentu yang telah lebih dulu melekat padanya.
Ah, saya jadi teringat seringkali ada orang yang percaya bahwa mahasiswa adalah agent of change. Label yang keren. Tapi apabila keadaannya seperti yang saya paparkan tadi, produk perguruan tinggi tidak lebih dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia kerja. Mahasiswa banyak diberi pengetahuan sekaligus keterampilan sesuai bidangnya masing-masing. Namun seringkali kampus tidak memberikan mahasiswa senjata untuk melawan ketidaksesuaian yang terjadi antara dunia kerja dengan dunia ideal di kepala mahasiswa. Sarjana terbiasa berperan sebagai objek dari sistem yang ada di hadapannya. Syukurlah bagi mereka yang tersadar dan merasakan penjara dalam hidupnya sehingga mampu mengambil langkah untuk mendobrak penjara tersebut ketimbang hanya tidur mendengkur di dalamnya.
Apakah Anda pikir semua ini ngawur? Ah, jangan terlalu serius. Ini semua hanya komedi. Ha-Ha.
 

1 komentar:

Dina TSH said...

apapun, tong sutris-sutris. always be happy, dear.. fighting with smile ;)

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.