Saya baru saja dinyatakan lulus sidang skripsi.
Akhirnya, petualangan saya di bangku kuliah telah selesai. Ada banyak
perenungan yang muncul terutama berkaitan dengan pertanyaan: setelah ini apa
lagi? Renungan mengenai langkah selanjutnya cukup menimbulkan kegelisahan. Tapi
terlepas dari semua itu, ada juga renungan yang lucu nan menyenangkan saat saya
berusaha merefleksikan serangkaian pengalaman yang saya lalui di dunia
perguruan tinggi ini. Seperti kata Horace Walpole, dunia adalah tragedi bagi
yang berperasaan dan komedi bagi yang berpikir. Ya, komedi: bangku kuliah itu
mirip pabrik.
Sebuah pabrik menyediakan
serangkaian proses untuk menghasilkan produk. Saya membayangkan setidaknya ada
tiga tahapan utama yang disediakan pabrik untuk menghasilkan suatu produk. Pertama,
tahap seleksi.
Mari berandai-andai. Apabila pabrik
yang saya ambil sebagai contoh adalah pabrik pakaian, maka pada mulanya pabrik
tersebut mesti menyeleksi bahan yang berkualitas untuk diolah menjadi sebuah
pakaian. Kualitas suatu bahan tentu saja ditentukan oleh pabrik yang
bersangkutan. Dalam hal ini, satu pabrik bisa memiliki standar kualitas
tertentu yang berbeda dengan pabrik lainnya. Kriteria itu harus dimiliki untuk
memudahkan proses seleksi.
Kenapa harus diseleksi? Apakah bahan
yang berkualitas dipilih untuk menghasilkan produk akhir yang berkualitas? Dalam
beberapa segi, hal tersebut merupakan cara pikir yang paling mudah dipahami. Pengandaian
bahwa bahan yang berkualitas akan menghasilkan produk yang berkualitas saya
kira tidak seratus persen tepat karena menurut saya ada variabel pengolahan
yang menyertai bahan tersebut sebelum ia menjadi produk. Oleh karena itu, saya
pikir yang penting di sini adalah proses pengolahan bahan itu sendiri. Dua orang
koki dapat diberi bahan-bahan berkualitas yang sama. Namun, masakan yang
menjadi produk akan berbeda tergantung pada cara kedua koki itu mengolah
bahan-bahan tadi.
Lantas, kalau proses pengolahan itu
yang penting, kenapa masih ada seleksi? Menurut saya, proses seleksi ini
bertujuan untuk mempermudah proses selanjutnya, yakni agar proses pengolahan
berjalan secara efisien dan ekonomis. Bahan-bahan
dengan kualitas tertentu lebih mudah diolah untuk mencapai target tertentu
ketimbang bahan-bahan yang lain. Bahan-bahan tertentu lebih menguntungkan
daripada bahan-bahan lainnya.
Pada perguruan tunggi, seleksi
seperti itu dilakukan melalui perangkat berupa soal-soal yang diikutsertakan
pada seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ada batas-batas nilai tertentu yang
harus dilewati sementara kursi yang tersedia pun terbatas. Kursi itu pada
pabrik adalah gudang atau ruang yang mampu menampung semua bahan baku yang
diperlukan. Daya tampung itu terbatas sehingga yang ditampung pada akhirnya
adalah bahan-bahan yang lebih unggul dibanding bahan-bahan lainnya. Mereka yang
kalah bersaing cukup diabaikan. Toh, kebutuhan pabrik sudah tercapai jadi untuk
apa memikirkan bahan-bahan yang tidak tertampung. Biarkan saja, siapa tahu ada
pabrik lain yang membutuhkan.
Dari situ, pabrik memulai proses
pengolahan. Ada sistem yang berjalan dalam proses ini. Sistem itu dibuat agar
produk yang dihasilkan sesuai dengan target tertentu. Dalam pabrik pakaian, ada
pola-pola yang digambarkan di atas bahan, ada cara-cara menjahit tertentu, dan
seterusnya. Nah, pada mahasiswa sistem itu mewujud pada kurikulum kuliah yang
mewadahi transfer pengetahuan di dalam kelas beserta proses penilaian yang
dilakukan.
Tapi rupanya proses seleksi bahan
di awal, tidak serta merta menimbulkan keseragaman pengolahan. Ternyata, masih
ada perbedaan kualitas di antara bahan sehingga setiap bahan perlu perlakuan
yang berbeda. Teman saya ada yang cukup dimasak selama 4 tahun. Saya sendiri
perlu dimasak selama 6 tahun. Hahaha.
Proses terakhir yang sangat
penting adalah proses quality control. Setiap
produk kemudian dilihat apakah telah sesuai dengan target atau belum. Proses ini
menghasilkan label-label tertentu yang melekat pada produk. Pada beberapa factory outlet yang pernah saya sambangi
misalnya, kita akan menemukan label yang menunjukkan nilai sebuah pakaian. Beberapa
bahkan memperlihatkan kekurangan dari produk itu, apakah ada jahitan yang
terlepas, kancing yang kurang, dan sebagainya.
Nah, pada sarjana saya rasa
situasinya mirip. Label itu merupakan ijazah yang mengandung IPK serta
nilai-nilai dari setiap mata kuliah. Akhirnya, produk yang telah dibubuhi label
tertentu siap dipasarkan di dunia kerja. Di hadapan rasionalitas demikian,
manusia hanya objek yang dinilai dengan kriteria tertentu. Padahal sebagai subjek,
mestinya manusia bisa menentukan kriteria penilaiannya sendiri. Setelah selesai
diproduksi di pabrik itu, manusia menjadi bahan kembali bagi pabrik berikutnya:
dunia kerja. Sebelum bisa menjadi subjek pelaku kerja, lagi-lagi pada mulanya
manusia adalah objek yang diseleksi dengan label tertentu yang telah lebih dulu
melekat padanya.
Ah, saya jadi teringat seringkali
ada orang yang percaya bahwa mahasiswa adalah agent of change. Label yang keren. Tapi apabila keadaannya seperti
yang saya paparkan tadi, produk perguruan tinggi tidak lebih dihasilkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar dunia kerja. Mahasiswa banyak diberi pengetahuan
sekaligus keterampilan sesuai bidangnya masing-masing. Namun seringkali kampus
tidak memberikan mahasiswa senjata untuk melawan ketidaksesuaian yang terjadi
antara dunia kerja dengan dunia ideal di kepala mahasiswa. Sarjana terbiasa
berperan sebagai objek dari sistem yang ada di hadapannya. Syukurlah bagi
mereka yang tersadar dan merasakan penjara dalam hidupnya sehingga mampu
mengambil langkah untuk mendobrak penjara tersebut ketimbang hanya tidur
mendengkur di dalamnya.
Apakah Anda pikir semua ini
ngawur? Ah, jangan terlalu serius. Ini semua hanya komedi. Ha-Ha.
1 komentar:
apapun, tong sutris-sutris. always be happy, dear.. fighting with smile ;)
Post a Comment