Saturday 22 September 2012

Hell is other people. Drama No Exit yang ditulis Sartre agaknya menjadi karya yang sering dirujuk untuk menjelaskan pandangan Sartre mengenai ‘neraka adalah orang lain’. Dalam drama tersebut, tiga orang ditempatkan di dalam sebuah neraka menanti siksaan yang abadi. Neraka itu hanya berupa ruangan dengan furniture seadanya. Tidak ada bara api, tombak, atau apa pun alat yang dapat digunakan untuk menyiksa. Siksaan rupanya tidak lahir dari benda-benda fisik.

Tiga orang yang saling asing itu menyimpan dosa mereka masing-masing. Satu sama lain tidak mengetahui dosa apa yang telah tiap-tiap dari mereka perbuat. Seolah menjadi hal yang wajar, apabila kita selalu berusaha menyimpan rapat-rapat dosa yang kita perbuat. Dalam No Exit, hal itu yang terjadi. Menjadi menarik ketika dalam ruangan tersebut tiap orang terlihat berusaha mendefinisikan orang lain. Definisi atau penilaian kita atas orang lain selalu mempengaruhi cara kita bertindak terhadap orang tersebut. Sementara itu penilaian kita selalu berasal dari hal-hal yang tampak pada diri orang lain – penampilan, tutur kata, dan gerak-geriknya – dan disandingkan dengan referensi yang berasal dari masa lalu kita – bagaimana kita memiliki pengalaman mengenai tindakan dari orang berciri tertentu.
Dalam No Exit, masing-masing memahami hal ini, dan karenanya berusaha sebisa mungkin menjaga citranya. Akan tetapi tiap tokoh juga memiliki hasrat untuk mengetahui lebih jauh tentang orang-orang yang ada di ruangan itu. Karena mereka sadar berada di dalam neraka, satu-satunya konklusi yang dapat ditarik adalah masing-masing memiliki dosa, dan dosa itulah yang menjadi objek hasrat masing-masing: berusaha membongkar dosa orang lain sambil bertahan agar orang lain tidak tahu dosa yang telah dilakukan diri. Usaha-usaha untuk bertahan dari serangan yang dilakukan orang lain, terutama bertahan dari penilaian-penilaian orang lain, adalah salah satu dasar yang membuat Sartre berpikir: hell is other people.
Tampaklah bahwa dalam drama tersebut relasi manusia berakar pada konflik. Ketika kesadaran yang satu bertemu dengan kesadaran yang lain, menurut Sartre ciri utamanya adalah kegiatan menidak, menegasi, menyatakan tidak. Artinya, kesadaran selalu berusaha mempertahankan subjektivitas dirinya sendiri. Contohnya, err, saat orang pacaran bertengkar. Masing-masing mendaku paling benar, cenderung menyalahkan pasangannya. Tapi, bukankah dalam hubungan itu ada saat-saat yang damai dan menyenangkan? Menurut Sartre, tetap pada dasarnya hubungan itu intinya konflik, Seolah sangat bertolak belakang dan tidak memiliki titik temu, tapi Sartre punya alasan.
Ada dua jenis cara segala hal di dunia ini menjadi eksis (mengada) menurut Sartre, en soi (being in itself, ada pada dirinya) dan pour soi (being for itself, ada untuk dirinya sendiri). Kedua hal itu dibedakan oleh kesadaran En soi ada pada benda-benda di luar manusia yang tak memiliki kesadaran. Sementara pour soi adalah ciri khas manusia dan tidak dimiliki benda karena adanya kesadaran. Pada pour soi, manusia menyadari dirinya sendiri berbeda dengan en soi, benda-benda tidak menyadari dirinya sendiri. Jelas, bukan? bahwa benda seperti batu, meja, dan benda-benda fisik lainnya, eksis tanpa pernah mempertanyakan kenapa. Ketika kursi kita duduki, dia tidak menolak, berbeda kalau orang yang kita duduki, tentu berat badan kita menjadi beban buat dia sehingga dia akan menjungkir-balikkan kita yang berusaha mendudukinya. Dalam benda-benda ada semacam hukum yang mengatur, misalnya ketika batu dilempar ke atas ia pasti jatuh, tak pernah dalam percobaan kedua di tempat yang sama, batu yang dilempar tak lagi kembali jatuh. Pada binatang pun demikian, ayam yang kita pelihara selalu kembali ke kandang sebelum malam, padahal kalau ia sadar, dirinya ada dalam bahaya karena sewaktu-waktu dapat kita sembelih seperti teman-temannya.
Pada manusia segalanya berbeda. Ciri utamanya ditentukan oleh pour soi. Pada buruh yang berdemo, kesadaran akan dirinya yang berada dalam posisi tidak menyenangkan di bawah tekanan kerja tanpa kesejahteraan yang memuaskan membuatnya bergerak menolak. Pada anak yang berbuat salah, marahnya orang tua hanya sesekali membuatnya menurut. Coba marahi ia seterusnya, dan akan kita temukan ia akan berontak. Jelas bahwa dalam pour soi, selalu terdapat kebebasan. Sartre paling giat mengingatkan manusia akan kebebasan dirinya yang bersifat absolut. Andaikan kebebasan adalah keterbelengguan yang tepat sasaran, maka yang dibutuhkan adalah kesadaran akan adanya garis-garis batas belenggu tersebut, sehingga kebebasan manusia semakin luas. Dalam hal ini, Sartre percaya kebebasan bergantung pada kesadaran masing-masing orang dan sejauh mana mereka mau memperjuangkannya. Katanya, A lost battle is a battle one thinks one has lost!
Paparan di atas hendak menjelaskan genesis dari pandangan Sartre bahwa manusia adalah subjek dalam kehidupan dirinya sendiri. Subjek adalah pelaku yang bebas menentukan segalanya. Lalu, apa yang terjadi ketika subjek bertemu subjek: konflik!
“Sarana yang penting dlaam konflik atau situasi konflik ini adalah tatapan atau sorot mata (le regard). Tatapan atau sorot mata ini dipahami secara luas. Artinya, tatapian itu juga dapat mencakup suara langkah yang mendekat lalu berhenti, bunyi yang terdengar dari seak belukar, dari kain jendela yang terbuka sedikit, dan sebagainya. Bagaimanapun juga, tatapan itu merupakan kehadiran orang lain yang menonton, menatap, menyelidik, dan mengobjekkan aku. Singkatnya, tatapan tersebut adalah kehadiran orang lain sebagai subjek yang mengobjekkan aku. Bagi dia, aku adalah orang yang termasuk dalam dunianya, objek yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Dia sendiri adalah subjek. Dan sementara dia menatapku, aku menemukan diriku sendiri, aku masuk dalam dunianya, kebebasanku membeku. Dengan demikian ditunjukkan bahwa dalam situasi seperti itu aku menjadi objek bagi dia sebagai subjek. Namun, dalam situasi seperti itu juga dapat terjadi bahwa dia menjadi objek bagiku dan aku adalah subjek baginya.
Karena itu dalam relasi yang konkret dengan orang lain aku dapat melakukan dua hal. Yang pertama adalah aku takluk dan tunduk saja kepadanya. Hal itu kulakukan dengan membuat diriku menjadi objek dan dia menjadi subjek. Secara konkret hal itu terwujud dalam cinta dan masokhisme. Dan yang kedua adalah aku tidak tunduk dan takluk kepadanya. Hal itu secara konkret terwujud dalam sikap acuh tak acuh, keinginan seksual, dan sikap benci.”[1]   
Untuk memahami penjelasan Sartre mengenai relasi, orang biasanya merujuk pada buku L’etre et Le neant (Being and Nothingness). Akan tetapi perlu diketahui, ketika menjelang akhir hayatnya, Sartre menulis sebuah surat yang menyatakan bahwa seluruh ontologi yang ia susun pada karya tersebut harus dihapus. Pandangan-pandangannya yang negatif mengenai eksistensi orang lain, menurutnya adalah satu-satunya hal yang membuat ia selama ini kesulitan menyusun etika moral. Dalam hal ini, seperti halnya Marx muda dan Marx tua, juga Wittgenstein I dan Wittgenstein II, pada pemikiran eksistensialisme Sartrean ada Sartre muda dan Sartre tua. Namun sayangnya, Sartre tua belum menuntaskan karyanya. Being and Nothingness adalah karya yang lebih cocok dibaca sebagai buku harian Sartre muda.
Pola pikir Sartre muda haruslah ditempatkan dalam konteks kesejarahannya. Dengan begitu, kita dapat melihat bahwa pandangan-pandangan Sartre yang negatif mengenai l’autre (yang lain) memiliki benih pada kehidupan masa silamnya.
Ada satu masa ketika Sartre merupakan anak kesayangan keluarganya. Dia menjadi pusat perhatian dengan rambut pirangnya yang panjang. Banyak orang menganggapnya tampan. Akan tetapi, suatu hari Sartre dibawa ke tukang cukur. Rambut panjangnya dipangkas dan memperlihatkan wajahnya dengan lebih jelas. Sejak saat itu, banyak orang yang mencibirnya karena melihat ia dengan rambut pendeknya, ia tampak seperti kodok. Bagi Sartre, kekurangan-kekurangan fisiknya adalah hal yang tak dapat diubah dan harus diterimanya. Akan tetapi, yang menyakitkan adalah pandangan orang lain. Orang lain bisa memuja kita, tapi lebih sering orang lain menjatuhkan kita.
Ibunya adalah sosok yang paling sentral dalam kehidupan Sartre kecil. Apa yang dibacakan ibunya sebelum Sartre menarik selimut adalah karya-karya Sartre sendiri, bukan cerita-cerita orang lain. Dalam keluarga itu, Sartre terlahir dengan minat yang besar terhadap sastra. Keluarganya pun menganggapnya pintar. Hingga suatu hari ia memiliki ayah tiri yang keras. Ia dipaksa mengerti geometri dengan cara mendidik yang keras. Minatnya yang kurang pada bidang-bidang tersebut membuatnya kesulitan. Ia dianggap bodoh oleh ayah tirinya itu. Hal itu sungguh menyakitkan karena selama ini ia menganggap dirinya pintar.
Dua pengalaman tersebut agaknya sangat membekas pada diri Sartre kecil, bagaimana orang lain seringkali memberikan waktu-waktu yang sulit pada kehidupannya. Ketika Perancis berperang dengan Jerman, Sartre sama sekali tidak menaruh minta pada hal tersebut. Ia lebih suka mengurung diri di tengah buku-buku menjalankan proyek filsafatnya mengenai orang lain dengan fokus sisi negatif kehadiran orang lain. Padahal, seperti tampak pada ibu Sartre saat Sartre kecil, ada orang-orang yang hadir untuk memberikan hal-hal positif tidak melulu konflik. Namun, hal-hal tersebut cenderung diabaikan Sartre muda.
Problem yang ditemukan pada pemikiran Sartre muda cenderung seperti problem yang ditemukan pada filsafat kesadaran lainnya sejak Descartes. Pada filsafat kesadaran tersebut ditemukan kecenderungan berpikir satu arah. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Hal yang tak terbantahkan adalah eksistensi diriku. Yang lain selalu dapat diragukan keberadaannya, sehingga dalam beberapa taraf bisa ditiadakan. Pada Kant, imperatif kategoris yang dianggap sebagai hukum moral – bertindaklah dengan membayangkan tindakanmu itu dapat diuniversalkan – ditimbang-timbang menurut satu subjek, sehingga hasilnya sama, yang lain ditiadakan. Dalam pola pikir Kant misalnya, mencuri adalah tindakan buruk, karena apabila diuniversalkan, tidak terbayangkan apa jadinya dunia ini andai banyak terjadi pencurian. Akan tetapi, pada beberapa orang yang misalnya memiliki pemikiran bahwa mencuri adalah tindakan untuk menghilangkan nilai kapitalis sebuah barang, mencuri dapat menjadi tindakan universal. Pola pikir yang sama ditemukan pada Nazi dengan ke-anti- Yahudi-annya merasa punya hak membunuh Yahudi, dan tipe-tipe fundamentalis religius seperti FPI ataupun HTI yang merasa bahwa yang salah harus diperangi.
Pada Sartre, subjek yang menimbang-nimbang kebebasan dirinya pun adalah subjek yang sendiri. Di luar subjek, segalanya menjadi objek. Hal ini berbahaya, karena pada objek, manusia cenderung melihat nilai guna. Manusia lain eksis dalam kehidupanku ketika ia berguna baiku. Lalu, apa yang terjadi pada hal-hal yang tidak dianggap memiliki nlai guna? Ditiadakan. Dihancurkan karena sama sekali tidak berguna. Pandangan ini yang memicu pembunuhan orang utan di perkebunan-perkebunan Kalimantan. Pandangan ini pula yang menyebabkan penjajahan, ada anggapan ras yang lebih agung dari ras yang lain. Apabila kolonialisme bermula pada penguasaan SDA, bukankah pada akhirnya ia pun berakhir pada penguasaan manusia? Ketika Sartre bersikukuh eksistensialisme adalah humanisme, rupanya ada beberapa hal yang menjadi bumerang, terutama pandangannya soal yang lain.
Hanya membaca karya awal Sartre terutama tentang relasi berdasarkan Being and Nothingness adalah usaha tak tuntas untuk memahami penolak hadiah nobel yang satu ini. Baru pada Sartre tua kita akan menemukan dirinya mirip dengan Habermas yang berusaha untuk beralih dari filsafat subjektif pada filsafat intersubjektif yang sayangnya tak pernah selesai. Pada Sartre, kiranya pokok paling penting yang dapat kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari adalah semangat pembebasan. A lost battle is a battle one thinks one has lost!



[1] Alex Lanur, Relasi Antar Manusia Menurut Jean-Paul Sartre, dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Kanisius, 2011. Hal. 75

7 komentar:

dims said...

mas ijin share tulisan

afnurghani said...

Wah, masih ada yg baca di 2017

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
afnurghani said...

Luar biasa, setahun kemudian saya baru tahu ada yang baca di 2018

dasd said...

hi! saya baca di 2019 :D

Shooting Star said...

hi! saya baca di 2020

afnurghani said...

sudah 2022

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.