Hell is other people. Drama
No Exit yang ditulis Sartre agaknya
menjadi karya yang sering dirujuk untuk menjelaskan pandangan Sartre mengenai
‘neraka adalah orang lain’. Dalam drama tersebut, tiga orang ditempatkan di
dalam sebuah neraka menanti siksaan yang abadi. Neraka itu hanya berupa ruangan
dengan furniture seadanya. Tidak ada bara api, tombak, atau apa pun alat yang
dapat digunakan untuk menyiksa. Siksaan rupanya tidak lahir dari benda-benda
fisik.
Tiga orang yang
saling asing itu menyimpan dosa mereka masing-masing. Satu sama lain tidak
mengetahui dosa apa yang telah tiap-tiap dari mereka perbuat. Seolah menjadi
hal yang wajar, apabila kita selalu berusaha menyimpan rapat-rapat dosa yang
kita perbuat. Dalam No Exit, hal itu
yang terjadi. Menjadi menarik ketika dalam ruangan tersebut tiap orang terlihat
berusaha mendefinisikan orang lain. Definisi atau penilaian kita atas orang
lain selalu mempengaruhi cara kita bertindak terhadap orang tersebut. Sementara
itu penilaian kita selalu berasal dari hal-hal yang tampak pada diri orang lain
– penampilan, tutur kata, dan gerak-geriknya – dan disandingkan dengan
referensi yang berasal dari masa lalu kita – bagaimana kita memiliki pengalaman
mengenai tindakan dari orang berciri tertentu.
Dalam No Exit, masing-masing memahami hal ini,
dan karenanya berusaha sebisa mungkin menjaga citranya. Akan tetapi tiap tokoh
juga memiliki hasrat untuk mengetahui lebih jauh tentang orang-orang yang ada
di ruangan itu. Karena mereka sadar berada di dalam neraka, satu-satunya
konklusi yang dapat ditarik adalah masing-masing memiliki dosa, dan dosa itulah
yang menjadi objek hasrat masing-masing: berusaha membongkar dosa orang lain
sambil bertahan agar orang lain tidak tahu dosa yang telah dilakukan diri.
Usaha-usaha untuk bertahan dari serangan yang dilakukan orang lain, terutama
bertahan dari penilaian-penilaian orang lain, adalah salah satu dasar yang
membuat Sartre berpikir: hell is other
people.
Tampaklah bahwa
dalam drama tersebut relasi manusia berakar pada konflik. Ketika kesadaran yang
satu bertemu dengan kesadaran yang lain, menurut Sartre ciri utamanya adalah
kegiatan menidak, menegasi, menyatakan tidak. Artinya, kesadaran selalu
berusaha mempertahankan subjektivitas dirinya sendiri. Contohnya, err, saat
orang pacaran bertengkar. Masing-masing mendaku paling benar, cenderung
menyalahkan pasangannya. Tapi, bukankah dalam hubungan itu ada saat-saat yang
damai dan menyenangkan? Menurut Sartre, tetap pada dasarnya hubungan itu
intinya konflik, Seolah sangat bertolak belakang dan tidak memiliki titik temu,
tapi Sartre punya alasan.
Ada dua jenis
cara segala hal di dunia ini menjadi eksis (mengada) menurut Sartre, en soi (being in itself, ada pada dirinya) dan pour soi (being for itself, ada
untuk dirinya sendiri). Kedua hal itu dibedakan oleh kesadaran En soi ada pada benda-benda di luar
manusia yang tak memiliki kesadaran. Sementara pour soi adalah ciri khas manusia dan tidak dimiliki benda karena
adanya kesadaran. Pada pour soi,
manusia menyadari dirinya sendiri berbeda dengan en soi, benda-benda tidak menyadari dirinya sendiri. Jelas, bukan?
bahwa benda seperti batu, meja, dan benda-benda fisik lainnya, eksis tanpa
pernah mempertanyakan kenapa. Ketika kursi kita duduki, dia tidak menolak,
berbeda kalau orang yang kita duduki, tentu berat badan kita menjadi beban buat
dia sehingga dia akan menjungkir-balikkan kita yang berusaha mendudukinya. Dalam
benda-benda ada semacam hukum yang mengatur, misalnya ketika batu dilempar ke
atas ia pasti jatuh, tak pernah dalam percobaan kedua di tempat yang sama, batu
yang dilempar tak lagi kembali jatuh. Pada binatang pun demikian, ayam yang
kita pelihara selalu kembali ke kandang sebelum malam, padahal kalau ia sadar,
dirinya ada dalam bahaya karena sewaktu-waktu dapat kita sembelih seperti
teman-temannya.
Pada manusia
segalanya berbeda. Ciri utamanya ditentukan oleh pour soi. Pada buruh yang berdemo, kesadaran akan dirinya yang
berada dalam posisi tidak menyenangkan di bawah tekanan kerja tanpa
kesejahteraan yang memuaskan membuatnya bergerak menolak. Pada anak yang
berbuat salah, marahnya orang tua hanya sesekali membuatnya menurut. Coba
marahi ia seterusnya, dan akan kita temukan ia akan berontak. Jelas bahwa dalam
pour soi, selalu terdapat kebebasan.
Sartre paling giat mengingatkan manusia akan kebebasan dirinya yang bersifat
absolut. Andaikan kebebasan adalah keterbelengguan yang tepat sasaran, maka
yang dibutuhkan adalah kesadaran akan adanya garis-garis batas belenggu
tersebut, sehingga kebebasan manusia semakin luas. Dalam hal ini, Sartre
percaya kebebasan bergantung pada kesadaran masing-masing orang dan sejauh mana
mereka mau memperjuangkannya. Katanya, A
lost battle is a battle one thinks one has lost!
Paparan di atas
hendak menjelaskan genesis dari pandangan Sartre bahwa manusia adalah subjek
dalam kehidupan dirinya sendiri. Subjek adalah pelaku yang bebas menentukan
segalanya. Lalu, apa yang terjadi ketika subjek bertemu subjek: konflik!
“Sarana yang penting dlaam konflik atau situasi konflik ini adalah tatapan atau sorot mata (le regard). Tatapan atau sorot mata ini dipahami secara luas. Artinya, tatapian itu juga dapat mencakup suara langkah yang mendekat lalu berhenti, bunyi yang terdengar dari seak belukar, dari kain jendela yang terbuka sedikit, dan sebagainya. Bagaimanapun juga, tatapan itu merupakan kehadiran orang lain yang menonton, menatap, menyelidik, dan mengobjekkan aku. Singkatnya, tatapan tersebut adalah kehadiran orang lain sebagai subjek yang mengobjekkan aku. Bagi dia, aku adalah orang yang termasuk dalam dunianya, objek yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Dia sendiri adalah subjek. Dan sementara dia menatapku, aku menemukan diriku sendiri, aku masuk dalam dunianya, kebebasanku membeku. Dengan demikian ditunjukkan bahwa dalam situasi seperti itu aku menjadi objek bagi dia sebagai subjek. Namun, dalam situasi seperti itu juga dapat terjadi bahwa dia menjadi objek bagiku dan aku adalah subjek baginya.Karena itu dalam relasi yang konkret dengan orang lain aku dapat melakukan dua hal. Yang pertama adalah aku takluk dan tunduk saja kepadanya. Hal itu kulakukan dengan membuat diriku menjadi objek dan dia menjadi subjek. Secara konkret hal itu terwujud dalam cinta dan masokhisme. Dan yang kedua adalah aku tidak tunduk dan takluk kepadanya. Hal itu secara konkret terwujud dalam sikap acuh tak acuh, keinginan seksual, dan sikap benci.”[1]
Untuk memahami
penjelasan Sartre mengenai relasi, orang biasanya merujuk pada buku L’etre et Le neant (Being and Nothingness). Akan tetapi perlu diketahui, ketika
menjelang akhir hayatnya, Sartre menulis sebuah surat yang menyatakan bahwa
seluruh ontologi yang ia susun pada karya tersebut harus dihapus.
Pandangan-pandangannya yang negatif mengenai eksistensi orang lain, menurutnya
adalah satu-satunya hal yang membuat ia selama ini kesulitan menyusun etika
moral. Dalam hal ini, seperti halnya Marx muda dan Marx tua, juga Wittgenstein
I dan Wittgenstein II, pada pemikiran eksistensialisme Sartrean ada Sartre muda
dan Sartre tua. Namun sayangnya, Sartre tua belum menuntaskan karyanya. Being and Nothingness adalah karya yang
lebih cocok dibaca sebagai buku harian Sartre muda.
Pola pikir
Sartre muda haruslah ditempatkan dalam konteks kesejarahannya. Dengan begitu,
kita dapat melihat bahwa pandangan-pandangan Sartre yang negatif mengenai l’autre (yang lain) memiliki benih pada
kehidupan masa silamnya.
Ada satu masa
ketika Sartre merupakan anak kesayangan keluarganya. Dia menjadi pusat
perhatian dengan rambut pirangnya yang panjang. Banyak orang menganggapnya
tampan. Akan tetapi, suatu hari Sartre dibawa ke tukang cukur. Rambut
panjangnya dipangkas dan memperlihatkan wajahnya dengan lebih jelas. Sejak saat
itu, banyak orang yang mencibirnya karena melihat ia dengan rambut pendeknya,
ia tampak seperti kodok. Bagi Sartre, kekurangan-kekurangan fisiknya adalah hal
yang tak dapat diubah dan harus diterimanya. Akan tetapi, yang menyakitkan
adalah pandangan orang lain. Orang lain bisa memuja kita, tapi lebih sering
orang lain menjatuhkan kita.
Ibunya adalah
sosok yang paling sentral dalam kehidupan Sartre kecil. Apa yang dibacakan
ibunya sebelum Sartre menarik selimut adalah karya-karya Sartre sendiri, bukan cerita-cerita
orang lain. Dalam keluarga itu, Sartre terlahir dengan minat yang besar terhadap
sastra. Keluarganya pun menganggapnya pintar. Hingga suatu hari ia memiliki
ayah tiri yang keras. Ia dipaksa mengerti geometri dengan cara mendidik yang
keras. Minatnya yang kurang pada bidang-bidang tersebut membuatnya kesulitan.
Ia dianggap bodoh oleh ayah tirinya itu. Hal itu sungguh menyakitkan karena
selama ini ia menganggap dirinya pintar.
Dua pengalaman
tersebut agaknya sangat membekas pada diri Sartre kecil, bagaimana orang lain
seringkali memberikan waktu-waktu yang sulit pada kehidupannya. Ketika Perancis
berperang dengan Jerman, Sartre sama sekali tidak menaruh minta pada hal
tersebut. Ia lebih suka mengurung diri di tengah buku-buku menjalankan proyek
filsafatnya mengenai orang lain dengan fokus sisi negatif kehadiran orang lain.
Padahal, seperti tampak pada ibu Sartre saat Sartre kecil, ada orang-orang yang
hadir untuk memberikan hal-hal positif tidak melulu konflik. Namun, hal-hal
tersebut cenderung diabaikan Sartre muda.
Problem yang
ditemukan pada pemikiran Sartre muda cenderung seperti problem yang ditemukan
pada filsafat kesadaran lainnya sejak Descartes. Pada filsafat kesadaran
tersebut ditemukan kecenderungan berpikir satu arah. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Hal yang tak
terbantahkan adalah eksistensi diriku. Yang lain selalu dapat diragukan
keberadaannya, sehingga dalam beberapa taraf bisa ditiadakan. Pada Kant,
imperatif kategoris yang dianggap sebagai hukum moral – bertindaklah dengan
membayangkan tindakanmu itu dapat diuniversalkan – ditimbang-timbang menurut
satu subjek, sehingga hasilnya sama, yang lain ditiadakan. Dalam pola pikir
Kant misalnya, mencuri adalah tindakan buruk, karena apabila diuniversalkan,
tidak terbayangkan apa jadinya dunia ini andai banyak terjadi pencurian. Akan
tetapi, pada beberapa orang yang misalnya memiliki pemikiran bahwa mencuri
adalah tindakan untuk menghilangkan nilai kapitalis sebuah barang, mencuri
dapat menjadi tindakan universal. Pola pikir yang sama ditemukan pada Nazi
dengan ke-anti- Yahudi-annya merasa punya hak membunuh Yahudi, dan tipe-tipe
fundamentalis religius seperti FPI ataupun HTI yang merasa bahwa yang salah
harus diperangi.
Pada Sartre,
subjek yang menimbang-nimbang kebebasan dirinya pun adalah subjek yang sendiri.
Di luar subjek, segalanya menjadi objek. Hal ini berbahaya, karena pada objek,
manusia cenderung melihat nilai guna. Manusia lain eksis dalam kehidupanku
ketika ia berguna baiku. Lalu, apa yang terjadi pada hal-hal yang tidak
dianggap memiliki nlai guna? Ditiadakan. Dihancurkan karena sama sekali tidak
berguna. Pandangan ini yang memicu pembunuhan orang utan di
perkebunan-perkebunan Kalimantan. Pandangan ini pula yang menyebabkan
penjajahan, ada anggapan ras yang lebih agung dari ras yang lain. Apabila
kolonialisme bermula pada penguasaan SDA, bukankah pada akhirnya ia pun
berakhir pada penguasaan manusia? Ketika Sartre bersikukuh eksistensialisme
adalah humanisme, rupanya ada beberapa hal yang menjadi bumerang, terutama
pandangannya soal yang lain.
Hanya membaca
karya awal Sartre terutama tentang relasi berdasarkan Being and Nothingness adalah usaha tak tuntas untuk memahami
penolak hadiah nobel yang satu ini. Baru pada Sartre tua kita akan menemukan
dirinya mirip dengan Habermas yang berusaha untuk beralih dari filsafat
subjektif pada filsafat intersubjektif yang sayangnya tak pernah selesai. Pada
Sartre, kiranya pokok paling penting yang dapat kita adopsi dalam kehidupan
sehari-hari adalah semangat pembebasan. A
lost battle is a battle one thinks one has lost!
[1] Alex Lanur, Relasi Antar Manusia Menurut Jean-Paul
Sartre, dalam Filsafat
Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Kanisius,
2011. Hal. 75
7 komentar:
mas ijin share tulisan
Wah, masih ada yg baca di 2017
Luar biasa, setahun kemudian saya baru tahu ada yang baca di 2018
hi! saya baca di 2019 :D
hi! saya baca di 2020
sudah 2022
Post a Comment