Saturday 18 August 2012



Lebaran selalu identik dengan ketupat, mudik, dan kata maaf. Di rumahku pun seringkali begitu. Sehari sebelum lebaran ibuku mempersiapkan bahan-bahan untuk ketupat juga opor ayam. Biasanya saat memasak, dia akan kesal dan mengeluh kenapa dia tidak punya anak perempuan. Andai ada anak perempuan, menurutnya, pekerjaannya bakal lebih gampang. Nah, saat itulah aku pun mulai membantunya: entah itu mengulek bumbu, mengisi ketupat, atau menggoreng kerupuk.

Jika sudah matang, semuanya kami bungkus karena kami memang berniat menyantapnya di perjalanan nanti. Ya, kami lebih suka pergi mudik saat hari-H. Perjalanan ke Tegal bakal lebih singkat karena jalanan benar-benar sepi. Biasanya kami berangkat setelah solat Subuh dan akan berhenti untuk solat ied dan sarapan di mana pun itu sejauh kami mampu. Selesai sarapan, kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi saudara kami satu persatu. Tujuannya simple untuk silaturahmi dan menyampaikan maaf secara langsung.

Puluhan tahun, hal itu seakan sudah menjadi ritual keluarga kami. Tapi, hari ini ritual tersebut sudah selesai.

Kami masih memasak ketupat dan opor ayam, tapi tidak lagi kami bungkus. Setelah matang, menu tersebut disiapkan di atas piring-piring dengan rapi. Bila biasanya subuh-subuh bapakku yang membangunkan adik-adikku. Hari ini, aku dan ibuku yang mengerjakan tugas tersebut.

Bapakku masih sakit. Ia pun hanya bisa mendengar takbir bergema dari kejauhan atau dari radio. Ia sebenarnya sungguh ingin pergi mudik untuk bertemu kakak, adik, juga sepupunya. Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Jangankan pergi mudik, pergi solat Ied di lapangan pun sudah tidak bisa.

Sepulang dari solat Ied aku menghampiri bapakku yang masih berbaring di tempat tidur. Ibuku mengikuti di belakang. Sementara adikku masih sibuk memasukkan mobil ke garasi.

Aku jarang melihat bapakku menangis. Tapi kali ini air matanya pecah. Saat aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dan minta maaf, dia langsung merangkulku meminta maaf karena sakitnya tak juga sembuh. Aku ikut menangis. Kulihat ibuku pun menangis saat dirangkul bapak.

Saat adik-adikku masuk ke kamar, air mata sudah hilang, tapi kata maaf masih tersisa di sana.

Luka Lupa

Khutbah hari ini tidak begitu spesial. Masih soal dongeng-dongeng klise tentang Ramadhan dan Idul Fitri yang diputar setiap tahun. Aku lebih banyak berbincang dengan diriku sendiri. Aku kesal dan marah pada diriku sendiri dan pada dunia mengingat betapa murahnya kata tersebut untuk diucapkan.

Maaf selalu punya relasi dengan kejadian yang lampau, dengan hal yang paling jauh dari manusia karena bagaimanapun juga, dipandang dari titik kita berada sekarang, masa lalu sudah terhampar begitu saja dan tak mungkin kita raih lagi. Kata maaf muncul di tengah-tengah masa lalu dan masa depan. Ia diharapkan mampu menyembuhkan luka dari masa lalu sehingga bisa mencerahkan masa depan. Akan tetapi, tak jarang pada masa depan kata maaf malah menimbulkan lupa.

Mungkin kalian masih ingat ketika Franz-Magnis Susenoa mendukung kata maaf bagi para korbanpelanggaran HAM, kritik-kritik bermunculan. Kata maaf dianggap menyederhanakan permasalahan dan mengurangi keinginan untuk memperbaiki kondisi yang timpang. Ia bersifat permisif dan seolah membiarkan begitu saja kesalahan yang telah ada.

Maaf memang tak pernah cukup saat ia cuma jadi pemanis pesan-pesan singkat. Kata ini mestinya muncul dari niat tulus untuk memperbaiki keadaan. Ia harus diawali dari kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dan tak ingin diulangi. Tindakan untuk memperbaiki diri itulah yang penting hingga sebetulnya kata maaf tidak perlu lagi diucapkan. Biarkan orang-orang mendengar maaf kita dalam tindakan kita selanjutnya.

Maaf,
Untuk diriku sendiri, untukmu, dan untuk dunia..

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.