Lebaran selalu identik
dengan ketupat, mudik, dan kata maaf. Di rumahku pun seringkali begitu. Sehari
sebelum lebaran ibuku mempersiapkan bahan-bahan untuk ketupat juga opor ayam. Biasanya
saat memasak, dia akan kesal dan mengeluh kenapa dia tidak punya anak perempuan.
Andai ada anak perempuan, menurutnya, pekerjaannya bakal lebih gampang. Nah, saat
itulah aku pun mulai membantunya: entah itu mengulek bumbu, mengisi ketupat,
atau menggoreng kerupuk.
Jika sudah matang,
semuanya kami bungkus karena kami memang berniat menyantapnya di perjalanan
nanti. Ya, kami lebih suka pergi mudik saat hari-H. Perjalanan ke Tegal bakal
lebih singkat karena jalanan benar-benar sepi. Biasanya kami berangkat setelah
solat Subuh dan akan berhenti untuk solat ied dan sarapan di mana pun itu sejauh
kami mampu. Selesai sarapan, kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi
saudara kami satu persatu. Tujuannya simple untuk silaturahmi dan menyampaikan
maaf secara langsung.
Kami masih memasak ketupat dan opor ayam, tapi
tidak lagi kami bungkus. Setelah matang, menu tersebut disiapkan di atas
piring-piring dengan rapi. Bila biasanya subuh-subuh bapakku yang membangunkan adik-adikku.
Hari ini, aku dan ibuku yang mengerjakan tugas tersebut.
Bapakku masih sakit. Ia
pun hanya bisa mendengar takbir bergema dari kejauhan atau dari radio. Ia sebenarnya
sungguh ingin pergi mudik untuk bertemu kakak, adik, juga sepupunya. Tapi kondisinya
tidak memungkinkan. Jangankan pergi mudik, pergi solat Ied di lapangan pun
sudah tidak bisa.
Sepulang dari solat
Ied aku menghampiri bapakku yang masih berbaring di tempat tidur. Ibuku mengikuti
di belakang. Sementara adikku masih sibuk memasukkan mobil ke garasi.
Aku jarang melihat
bapakku menangis. Tapi kali ini air matanya pecah. Saat aku mengulurkan tangan
untuk bersalaman dan minta maaf, dia langsung merangkulku meminta maaf karena
sakitnya tak juga sembuh. Aku ikut menangis. Kulihat ibuku pun menangis saat
dirangkul bapak.
Saat adik-adikku masuk
ke kamar, air mata sudah hilang, tapi kata maaf masih tersisa di sana.
Luka Lupa
Khutbah hari ini tidak
begitu spesial. Masih soal dongeng-dongeng klise tentang Ramadhan dan Idul
Fitri yang diputar setiap tahun. Aku lebih banyak berbincang dengan diriku
sendiri. Aku kesal dan marah pada diriku sendiri dan pada dunia mengingat
betapa murahnya kata tersebut untuk diucapkan.
Maaf selalu punya
relasi dengan kejadian yang lampau, dengan hal yang paling jauh dari manusia
karena bagaimanapun juga, dipandang dari titik kita berada sekarang, masa lalu
sudah terhampar begitu saja dan tak mungkin kita raih lagi. Kata maaf muncul di
tengah-tengah masa lalu dan masa depan. Ia diharapkan mampu menyembuhkan luka
dari masa lalu sehingga bisa mencerahkan masa depan. Akan tetapi, tak jarang
pada masa depan kata maaf malah menimbulkan lupa.
Mungkin kalian masih
ingat ketika Franz-Magnis Susenoa mendukung kata maaf bagi para korbanpelanggaran HAM, kritik-kritik bermunculan. Kata maaf dianggap menyederhanakan
permasalahan dan mengurangi keinginan untuk memperbaiki kondisi yang timpang. Ia
bersifat permisif dan seolah membiarkan begitu saja kesalahan yang telah ada.
Maaf memang tak pernah
cukup saat ia cuma jadi pemanis pesan-pesan singkat. Kata ini mestinya muncul
dari niat tulus untuk memperbaiki keadaan. Ia harus diawali dari kesadaran
bahwa ada sesuatu yang salah dan tak ingin diulangi. Tindakan untuk memperbaiki
diri itulah yang penting hingga sebetulnya kata maaf tidak perlu lagi
diucapkan. Biarkan orang-orang mendengar maaf kita dalam tindakan kita
selanjutnya.
Maaf,
Untuk diriku sendiri,
untukmu, dan untuk dunia..
0 komentar:
Post a Comment