Sunday 20 May 2012



Ini film lama. Tapi rasanya ini film paling sering saya tonton. Kebiasaan yang aneh memang, menonton film yang sama berulang kali. Beberapa kawan mencibir kebiasaanku ini. Mereka mencap aku orang tak punya kerjaan. Memang. Tapi film ini keren. Sungguh keren buatku. Meski judulnya fight club, adegan perkelahian cuma sedikit dibedah – meskipun memang cukup banyak darah. Kupikir fokus utamanya bukan pada perkelahian secara fisik, lebih pada jiwa, pada nilai-nilai, pada eksistensi diri. Tentang: Kau ini mau jadi orang seperti apa?

Panjang kalau saya harus cerita alur film ini. Saya hanya ingin bicara soal adegan-adegan yang berkesan buat saya. Hmm, tapi mungkin, biar tak lupa, biar kau yang baru tahu ada film sekeren ini, saya perlu mulai dari awal.

Tokoh utama di film ini adalah seorang karyawan perusahaan mobil. Kerjanya bikin laporan dari tiap kecelakaan dan menghitung biaya-biaya yang punya sangkut paut dengan kecelakaan mobil produk perusahaannya. Dia harus pergi ke tempat kejadian yang seringkali berada jauh dari kantornya untuk mencari data-data yang dibutuhkan.

Yang menarik adalah orang ini punya masalah kesehatan. Ia mengidap insomnia akut. Dengan penyakit itu, dia bilang dia tidak pernah benar-benar tidur sekaligus tak pernah benar-benar bangun. Dunia buat dia rasanya seperti salinan dari salinan dari salinan dari salinan…. Cukup rumit untuk dijelaskan tapi saya pikir, buat dia hidupnya seperti tidak asli, cuma fantasi, kehilangan gregetnya, seolah dia ada dalam mimpi orang lain. Terasing!

Tentu dia konsultasi pada seorang dokter. Dia bilang kalau ia tersiksa dengan keadaannya itu. Dia minta obat yang bisa meringankan, namun ditolak mentah-mentah oleh si dokter. Dokter bilang dia butuh tidur yang alami dan siksaan itu bukan sungguhan. Kata dokter, kalau dia mau lihat siksaan sungguhan, penyakit yang benar-benar berat, dia mesti datang ke sebuah kelas berisi orang-orang yang punya penyakit berat seperti testicular cancer. Akhirnya dia tertarik untuk ikut sebuah klub, semacam support group bagi penderita cancer.

Di dalam support group tersebut, ia berhadapan dengan orang-orang asing dengan masalah yang berat berkaitan dengan penyakit tersebut. Mereka saling bercerita soal pengalaman mereka, berbagi perasaan. “Strangers with this kind of honesty make me go a big, rubbery one” Ia pun menangis. Seolah alami, ia pun jadi bisa tidur pulas. (Kalau kata Dina, habis menangis, rasa kantuk memang kerap datang. Alami, bukan?)

Ia jadi kecanduan pada support group semacam itu. Tiap hari ikut support group yang berlainan dan berpura-pura punya penyakit. Hidupnya kembali normal, hingga akhirnya Marla Singer datang, Marla adalah ‘turis’. Sama seperti dirinya yang berpura-pura sakit. Namun, keberadaan Marla dalam kelompok-kelompok yang ia ikuti agaknya membuat pikirannya terpecah. Ia merasa terganggu dengan adanya satu orang yang mirip dirinya yang sedang berpura-pura. Tak lagi ia dapat menangis. Insomnia kembali datang. Tanpa sadar, ia sering merasa terbangun di tempat yang lain, dalam penerbangan yang lain, di kota yang lain, pada waktu yang lain. Semuanya sangat random.













 “If you wake up at a difference time in a different place, could you wake up as a different person?”

Dalam sebuah penerbangan dia duduk di samping seorang laki-laki yang punya koper identik dengan koper miliknya. Namanya Tyler Durden, pengrajin sabun. Kepada sang tokoh utama, Tyler bicara banyak hal yang menarik, mulai dari bagaimana oksigen yang tersedia saat pesawat berada dalam keadaan darurat disediakan agar membuat orang-orang ‘high’ dan pasrah menerima nasibnya, hingga bagaimana bom bisa dibuat dari peralatan rumah tangga sederhana.

Edward Norton (EN, si tokoh utama): Tyler, you are by far the most interesting single-serving friend i have ever met
Tyler Durden (TD) : … (diam)
EN      :everything on a plane is single serving
TD       : oh i get it, very clever
EN      : thank you
TD       : how's it working out for you?
EN      : what?
TD       : being clever
EN      : great
TD       : keep it up, then. right up
Adegan itu. Percakapan itu. Cukup menarik buat saya, terutama saat saya pertama kali menonton film itu. TD seolah berkata, kerjakan apa yang membuatmu senang, kerjakan hal-hal yang memuaskan bagimu, kerjakan hal-hal yang membawamu selangkah menuju kepenuhan hidup. Semacam itu.

Itu cuma satu fragmen. Dalam fragmen lain, kita seolah diajak berdialog soal apa yang sebenarnya memuaskan buat kita, apa yang benar-benar membawa kita merasakan hidup yang penuh, hidup yang benar-benar hidup. Benarkah apa yang kita anggap memuaskan itu, apa yang kita anggap benar itu, layak kita jalani dalam kehidupan ini?

Sebentar, begini: EN tinggal dalam sebuah flat. Taraf relasi sosialnya cukup rendah. Mungkin, pekerjaannya yang mensyaratkan agar ia terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain, membuatnya tak mau punya relasi yang intens dengan seseorang. Dalam keadaan demikian, kesenangan dan kepuasan ia dapatkan melalui barang-barang yang ia beli. Barang-barang mahal itu – mulai dari furnitur hingga alat olahraga mekanis – ia jadikan penanda eksistensinya. Konsumsi adalah cara terbaik untuk memuaskan jiwanya.

Hingga suatu hari, flat yang ia huni meledak! Tak ada seorang pun dengan hubungan cukup dekat yang dapat ia temui dalam keadaan seperti itu. Satu-satunya orang yang ia kenal adalah TD. Mereka kemudian bertemu di sebuah bar.

Seolah membenarkan tindakan EN yang menghubungi dirinya, TD : You know man, it could be worse. A woman could cut off your penis while you’re sleeping and toss it out the window of a moving car
(mereka kemudian berbincang soal ledakan di apartemen EN)
EN      : There’s always that. I don’t know, it’s just… when you buy furniture, you tell yourself: that’s the last sofa I’m gonna need. Whatever else happens, I’ve got that sofa problem handled. I had it all. I had a stereo that was very decent, a wardrobe that was getting very respectable. I WAS CLOSE TO BEING COMPLETE
TD       : Shit, man, now it’s all gone
EN      : All gone
TD       : Do you know what a duvet is?
EN      : It’s a comforter…
TD       : It’s a blanket. Now why do guys like you and I know what a duvet is? Is this essential to our survival, in the hunter-gathereer sense of the word? NO! What are we then?
EN      : Hm..Consumers?
TD       : Right. We’re consumers. We’re by-products of a lifestyle obsession. Murder, crime, poverty? These things don’t concern me. What concerns me is celebrity magazines, television with 500 channels, some guy’s name on my underwear. Rogaine, Viagra, Olestra…
EN      : Martha Stewart…
TD       : Fuck Martha Stewart. Martha’s polishing the brass of the Titanic. It’s all going down, man! So fcuk off, with your sofa units and your string green stripes patterns. I SAY NEVER BE COMPLETE. I SAY STOP BEING PERFECT. I SAY LET…LET’s EVOLVE, LET THE CHIPS FALL WHERE THEY MAY. But that’s me, I could be wrong, maybe it (the explosion) is a terrible tragedy
EN      : No. It’s just…stuff, not tragedy
TD       : Well, you did lose a lot of versatile solutions for modern living
EN      : Fcuk, you’re right!
TD       : the things that you own, end up owning you
Saya pikir ini percakapan paling menarik. Awalnya saya suka melihatnya sebagai penolakan terhadap materialisme. Bagaimana benda-benda dan segala hal berbau fisiklah yang dianggap paling penting dalam membangun diri. Sah-sah saja untuk hidup seperti itu. Tapi di sini, mereka melihatnya dari sisi lain. Barang-barang itu, yang semula sekadar alat untuk membantu manusia hidup, lama-kelamaan menjadi tujuan.

Bisa saja kita berkelit, tujuan utama dalam pengonsumsian barang-barang itu punya nilai luhur sebagai dampak dari kemajuan peradaban. Kelas konsumen baru, gadget-freak, menemukan dirinya ada dalam hasrat yang lain dari sekadar bertahan hidup di dunia ini. Bahkan status ekonomi kelas menengah baru ini cukup problematis. Status itu, rasa nyaman itu, berusaha dicari orang-orang. Sebagai tujuan, ia menghalalkan berbagai cara.

Ketika kepenuhan hidup direduksi menjadi angka-angka, saya membayangkannya seperti ini: kerja, saya pikir semestinya punya relasi yang kuat dengan kesenangan dan hasrat yang terpuaskan saat kita menjalaninya. Ia punya sekeranjang nilai yang harus diemban sebagai fungsi kerja dalam kehidupan manusia secara luas. Tapi, ketika angka-angka yang dijadikan tujuan, kerja jadi semacam jembatan untuk mencari angka itu. Tak ada lagi namanya menjunjung tinggi nilai-nilai dan beragam ide-ide penting soal fungsi kerja tadi. Yang tersisa cuma sekadar pertanyaan: bagaimana hari ini saya bisa mendapatkan uang? Apakah ini akar masalah korupsi? Bisa jadi. Tapi selayaknya akar dengan banyak cabangnya, ini cuma satu di samping banyak hal lainnya.

Ketika konsumsi menjadi hal yang kita amini paling penting dalam hidup ini, hal-hal lain kita kesampingkan. Kita bisa saja bicara banyak hal soal kemanusiaan, soal kemiskinan, masalah-masalah sosial, dan ratusan ragam masalah lainnya. Tapi, itu cuma sisi lain kehidupan ini yang kita tak pernah menaruh hasrat padanya. Kita bisa saja hebat bicara soal ini dan itu, tapi tanpa hasrat yang melekat erat, semuanya cuma omong kosong.  Sungguhpun manusia yang demikian telah bereksistensi, namun itu semua cuma kepalsuan. Kupikir dalam konteks ini, film ini banyak bicara soal kritik terhadap gaya hidup, terhadap modernitas.

Dalam hal ini, kebenaran yang kita pandangi kehilangan bentuk. Kierkegaard membuat distingsi yang jelas antara isi dan bentuk dari kebenaran. Isi bicara soal nilai-nilai yang melekat pada kebenaran itu. Bentuk, adalah cara kita mewujudkan kebenaran itu. Bentuk ada karena manusia memiliki hasrat pada kebenaran yang ia genggam erat. Pada bentuk, ada semacam komitmen terhadap isi yang mewujud dalam setiap tindakan.  


Dalam Fight Club kutemukan satu wejangan: hiduplah dengan penuh hasrat…
Self improvement is masturbation, now self destruction….





0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.