Monday 30 April 2012



Hari buruh. Hari para pekerja. Tengok tayangan berita televisi dan kita akan temukan gambar-gambar demonstrasi para buruh menuntut banyak hal berkaitan dengan kesejahteraan yang mereka dambakan. Lihat koran keesokan harinya, berita-berita yang sama akan terpampang di halaman depan. Begitulah agaknya setiap hari buruh kita lewati setiap tahunnya melalui media massa. Peristiwa-peristiwa itu dihadirkan pada kita melalui kerja kaum tertentu yang kita sebut sebagai wartawan. Dalam hal ini, wartawan adalah pekerja, bukan? Mereka adalah buruh.

Ketika konsep alienasi sering kita lekatkan pada para pekerja, demikian pula konsep yang sama melekat pada wartawan. Alienasi. Keterasingan. Rutinitas kerja membuat manusia terasing dari dirinya. Mereka menjadi semacam mesin, objek-objek yang bekerja, bekerja, dan bekerja. Bangun pagi, berangkat kerja, pulang kerja, tidur, kemudian bangun dan mengulangi rutinitas tadi. Sebagai objek, manusia menjatuhkan dirinya pada konstruksi-konstruksi yang dibangun oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Ah agaknya saya tak perlu banyak bercakap soal alienasi. Anda bisa cari tahu di tempat lain. Pendek kata, alienasi buat saya adalah saat manusia tak lagi mampu memberi makna pada hidupnya secara mandiri. Andaikan ada, makna-makna itu adalah ilusi yang tercipta tanpa kemandirian berpikir manusia.
Wartawan adalah pekerjaan yang unik. Ah, silakan nilai sendiri:
 Saya adalah mahasiswa ilmu komunikasi dengan studi utama mengenai jurnalistik. Di kampus, sudah sering sekali saya dengar cerita-cerita soal bagaimana pekerjaan wartawan. Wartawan harus berani. Keberanian mutlak diperlukan untuk menemukan kebenaran. Bahkan jika perlu, nyawa mesti dipertaruhkan. Masyarakat mutlak membutuhkan wartawan untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya pun sering mendengar ungkapan bahwa wartawan itu kerjanya 24 jam karena peristiwa yang dianggap penting bisa terjadi tanpa diduga. Ia harus selalu siap. Ini pekerjaan berat, bukan? Siapa yang sanggup menyediakan dirinya untuk selalu siap bekerja?
Untuk nilai yang pertama, soal keberanian, sungguh saya acungi jempol. Membela kebenaran itu adalah hal yang keren. Namun, untuk soal waktu, ah, saya melihat ironi. Saya pernah magang di sebuah harian selama dua bulan. Saya ditugaskan untuk menempati pos di daerah Soreang, Kabupaten Bandung. Sementara saya tinggal di Tanjungsari, sekitar sepuluh kilometer dari Jatinangor. Butuh sekitar satu setengah jam untuk sampai ke Soreang. Kerja saya, secara tersurat dimulai dari pukul delapan hingga enam belas. Namun, ditambah perjalanan jauh dan beragam kegiatan redaksional di kantor, kerja saya dimulai pukul tujuh hingga pukul dua puluh.
Hey! Saya butuh waktu untuk diri saya sendiri. Mengerjakan apa yang saya suka, entah itu berkebun, berjalan-jalan, berkawan, atau banyak hal lainnya. Mereka bilang saya punya hari Minggu. Namun, Minggu pun tidak berjalan tanpa kerja. Telepon selular saya kadang bergetar menerima pesan singkat redaktur untuk meliput sesuatu, dari acara remeh-temeh sampai yang penting.
Anda tahu, mula-mula saya menyukai pekerjaan ini. Saya merasa menjadi orang yang berguna. Namun, lama-lama rutinitas itu membunuh diri saya. Iya, saya berguna, tapi berguna untuk siapa? Saya seolah kehilangan guna untuk diri saya sendiri! Saya masih menyanjung nilai-nilai kebenaran dan emansipasi yang berusaha dihadirkan melalui profesi wartawan. Namun, ketika jam kerja itu seolah terlalu banyak mendesak kehidupan yang saya miliki, semuanya membuat diri saya menjadi terancam hilang. Nilai-nilai itu, yang dirangkum dan diberi label idealisme cukup menawan untuk mengisi kekosongan hidup. Sungguhlah hebat melihat bagaimana jam kerja pun bisa dijadikan satu instrumen sendiri untuk membangun idealisme. Namun, apakah ini semua cuma ilusi yang diciptakan mereka yang berkuasa atas media?
Di titik saya berdiri sekarang, idealisme itu – soal kebenaran, keberanian, independensi – seolah diruntuhkan sendiri oleh wartawan. Rutinitas juga upah yang tak sesuai saya pikir jadi bagian dari pemicunya. Rutinitas misalnya, melahirkan pola-pola kerja, pola-pola pertemanan dengan narasumber, pola-pola penulisan berita. Wartawan terjerumus pada pola-pola tersebut hingga tak lagi mampu mengakomodasi begitu beragamnya kebenaran subjektif di masyarakat.
Soal upah, rata-rata pekerjaan wartawan, khususnya mereka yang punya label sebagai reporter lapangan, apalagi yang baru masuk dunia itu, digaji dengan upah seadanya. Teman saya misalnya, di Jakarta ia ditawari upah keseluruhan 2,4 juta. Angka yang lumayan. Tapi ia menolak dengan pertimbangan tawaran upah itu belum cukup untuk menutupi beban hidup di Jakarta. Ada biaya makan, ada biaya kos, ada biaya ongkos, ada biaya pulsa. Hitung sana sini, ia hanya akan mampu menabung sebanyak satu juta per bulannya. Itu pun sudah banyak biaya yang ditekan di sana-sini. Belum lagi ditambah waktu kerja yang serampangan dan tak patuh jadwal, singkat kata, menurutnya upah itu tidak seimbang dengan pengorbanan yang akan dia buat demi bekerja sebagai wartawan.
Di luar kota-kota besar, upah wartawan lebih rendah lagi. Belum lagi beban kerja yang lebih berat. Seorang wartawan harus menguasai daerah jelajah yang lebih luas.  Tak jarang seorang wartawan ditugaskan medianya untuk bekerja di dua sampai tiga daerah. Maka tak heran apabila amplop suap perlahan menjadi jalan utama untuk menambal beban hidup.
Andai saja… pada hari buruh, wartawan mogok kerja seperti buruh lainnya…menuntut kesejahteraan…apa kiranya yang akan terjadi? Mungkin, para petinggi media bakal dengan gampangnya bilang: kalau Anda tak suka, silakan pergi, kami bisa dengan cepat mencari pengganti Anda! Tengoklah bagaimana dulu pernah ada sebuah stasiun televisi swasta yang membuka lowongan kerja besar-besaran. Peminatnya banyak, namun yang diterima hanya sedikit. Buat pemilik usaha, mencari buruh bukan hal yang sulit zaman sekarang.




0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 

Copyright 2010 ::HARMONI HITAM::.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.