The Walking
Dead. Film bertema post-apocalypse tentang
drama perjuangan hidup sekelompok manusia di tengah-tengah dunia yang mulai
dikuasai zombie. Saya baru selesai menonton season
1 dan beberapa episode dari season 2
film tersebut. Yang membuat saya betah mengikuti film tersebut adalah rasa
penasaran saya tentang cara manusia dalam film itu bertahan hidup. Pikiran saya
sebatas menikmati film tersebut sebagai satu dari sekian pelarian saya dari rutinitas
harian. Hingga sore itu, saat saya menangkap rasa yang lain dari film itu. Rasa
yang membuat saya mengaitkan film tersebut dengan realitas saat ini.
Kamis sore itu hujan yang turun begitu derasnya
membentuk tirai yang tidak sanggup kami tembus. Bersama teman-teman, dan juga
banyak mahasiswa lainnya, saya terjebak di kampus. Tak banyak yang dapat kami
lakukan dalam kondisi seperti itu. Obrolan, obrolan, obrolan. Cuma itu yang
kami punya untuk membunuh waktu.
Dina sudah tamat menonton Walking Dead season 2. Ia pun membolehkan saya yang masih
tertinggal untuk meminjam hardisk berisikan
film tersebut. Di depan kami, segerombolan mahasiswa kebetulan lewat dan
perasaan itu muncul, “Walking Dead
tuh kritik buat manusia modern jaman ini lho. Tuh, walkers.”
Walkers, sebutan yang
diberikan kepada zombie-zombie dalam Walking
Dead. Kritik seperti apakah yang saya tangkap dari penggambaran zombie
dalam Walking Dead? Saya melihat
zombie-zombie tersebut muncul dengan prinsip dasar yang menentukan perilaku
mereka. Mereka digambarkan tak ubahnya seperti binatang yang kelaparan, selalu
mencari mangsa. Mereka tertarik kepada manusia normal yang mereka jadikan
mangsa. Setiap gerak mereka selalu tertuju pada makhluk hidup. Saya kira
memangsa adalah wujud dari hasrat yang menjadi sumber dorongan perilaku mereka.
Dalam otak mereka yang sudah menghitam, memenuhi hasrat adalah satu-satunya
cara untuk menjalani hidup, cara untuk bereksistensi. Pemenuhan hasrat adalah
satu kemiripan yang saya tangkap dari zombie dan manusia.
Di titik ini, saya teringat pada tahap estetis sebagai
tahap eksistensi paling awal yang dikemukakan Kierkegaard. Manusia pada tahap
ini adalah manusia yang bereksistensi dengan tunduk pada hasrat-hasrat yang
muncul dalam dirinya. Meminjam istilah Freud, mereka bertindak berdasarkan
prinsip kenikmatan. Ketika dihadapkan pada situasi-situasi yang menuntut mereka
untuk mengambil keputusan, pertanyaan utamanya adalah: puas atau tidak? Tak ada
timbangan akan nilai-nilai. Mana yang baik atau yang buruk bukanlah sesuatu
yang mereka risaukan. Semua tindakan yang mereka lakukan, yang berdasarkan
keputusan mereka terhadap sesuatu, tidaklah mempedulikan baik dan buruk. Semuanya
bersumber pada prinsip kenikmatan semata: mengejar kenikmatan, menjauhi rasa
sakit. Pertanyaan utama soal puas atau tidak tadi berdasarkan pada prinsip itu.
Tak sedikit pun muncul keinginan untuk merasa puas karena telah melakukan hal
yang baik meski itu melalui jalan yang menyakitkan.
Lihatlah Faust. Faust yang tak pernah puas pada hidupnya, tak puas pada pengetahuan yang ia peroleh sampai-sampai membuat perjanjian dengan setan. Ia rela menggadaikan jiwanya demi pengetahuan yang tidak terbatas tapi lupa pada pertanyaan: Untuk apa semua itu? Andaikan ia ingat pertanyaan tersebut ia mungkin akan menjawab dengan angkuhnya, "Demi kepuasanku!"
Lihatlah Faust. Faust yang tak pernah puas pada hidupnya, tak puas pada pengetahuan yang ia peroleh sampai-sampai membuat perjanjian dengan setan. Ia rela menggadaikan jiwanya demi pengetahuan yang tidak terbatas tapi lupa pada pertanyaan: Untuk apa semua itu? Andaikan ia ingat pertanyaan tersebut ia mungkin akan menjawab dengan angkuhnya, "Demi kepuasanku!"
Melihat zombie-zombie itu saya melihat manusia yang telah tercabut dari nilai-nilai. Berjalan ke sana ke mari mengikuti arus, mengikuti apa yang mereka pikir telah ditakdirkan pada diri mereka, yang nyatanya ditentukan oleh orang lain, bukan diri mereka sendiri. Tak ada lagi penghayatan atas kerja yang mereka lakukan. Kehilangan sikap dan melemparkan diri dalam kerumunan. Mereka menggadaikan diri pada pandangan dari kerumunan itu. Melekatkan atribut-atribut pada dirinya yang dipandang kerumunan itu sebagai atribut yang baik, yang dipandang mampu menjadikan manusia lebih manusia. Padahal, ada kemungkinan bahwa atribut itu adalah atribut kosong yang tak berguna sama sekali. Tapi mereka tak mau bersusah payah sengaja memikirkan itu. Hidup, cukup dijalani dan lalu mati.
Buat Kierkegaard, orang-orang ini adalah orang-orang yang takut. Yang tak berani menjadi dirinya sendiri. Zombie, bukankah kita sering melihatnya setiap hari?
"Sebagaimana pengelana di padang pasir berjalan mengumpul dalam karavan-karavan besar karena takut pada perampok dan binatang buas, demikianlah pula orang-orang pada generasi sekarang takut pada eksistensi, karena eksistensi ini telah ditinggalkan oleh Tuhan. Hanya dalam kelompok besar dan kerumunan, mereka berani hidup. mereka berkumpul dalam kerumunan agar dapat merasakan bahwa mereka telah melakukan sesuatu."Pada dunia kita, pada teman-teman kita, dan bahkan tak jarang muncul dalam bayangan cermin di depan kita, Zombie, bukankah kita sering melihatnya setiap hari?
0 komentar:
Post a Comment